Sowan di Ndalem Syekh Syakban dan Syekh Shalihin




Jalan-jalan itu artinya mlaku-mlaku melihat pemandangan-pemandangan dan warna-warni alam. Diakui atau tidak, manusia adalah makhluk yang suka melakukan perjalanan. Di musim liburan setelah ujian, tidak sedikit dari mahasiswa yang berbondong-bondong mengadakan beraneka macam rihlah atau jalan-jalan mengunjungi tempat-tempat indah yang bisa dijangkau. Agar liburan tidak terbuang dengan sia-sia dan hanya diisi jalan-jalan yang biasa, pada musim libur kali ini Forum Alhikmah Mesir telah kembali melaksanakan salah satu agenda tahunannya berupa ziarah ke kediaman Mab’ust-mab’ust al azhar  yang pernah menetap dan mengajar di pondok pesantren al hikmah tercinta. 

Sebelum akhirnya menetukan destinasi ke Bani Suef, Mas Anwar Fuady selaku ketua forum memberikan opsi kepada anggotanya untuk memilih Mab’ust mana yang hendak dikunjungi, mengingat Mab’ust yang pernah bertugas di alhikmah tidak hanya satu  orang melainkan tujuh orang yang tempatnya tersebar di saentro  Mesir. 

Bani Suef adalah salah satu provinsi yang ada di Mesir. Ia terletak kurang lebih 200 km dari kota Cairo. Dari provinsi inilah dua orang Mab’ust yang pernah tinggal dan bertugas di pondok pesantren alhikmah berasal. Beliau adalah Syekh Ahmad Syakban Thaha dan Syekh Shalihin. Beliau berdua datang ke al hikmah tidak dalam satu waktu. Syekh Syakban lebih dahulu datang ke alhikmah dan beliau termasuk Mab’ust yang pertama bersama Syekh Khusain Mandur. Selang dua tahun kemudian barulah Syekh Shalihin datang ke Alhikmah. Sehingga mulai tahun tersebut terdapat tiga orang Native Speaker asli Mesir yang mengajar para santri di pondok pesantren al hikmah. Setelah masa tugas Syekh Khusain Mandur dan Syekh Syakban Thaha berakhir, dua orang Mab’ust yang baru menggantikan posisi beliau berdua dan hingga hari ini jumlah semua Mab’ust yang pernah bertugas di alhkimah berjumlah 7 orang. 

Kami berkumpul jam 9 pagi di daerah Darrasa dan meluncur ke mahathah Attaba. Dari mahathah Attaba kami naik Metro jurusan Munib. Perjalanan dari mahathah Attabah –Munib harus melewati sembilan stasiun pemberhentian. Kami berdesakan di dalam kereta bawah tanah. Semakin jauh meluncur, kereta bawah tanah yang kami tumpangi selalu menurunkan penumpangnya di setiap pemberhentian. Hingga akhirnya di mahathah Munib yang kami tuju, hanya tersisa rombongan kami dan beberapa gelintir orang. 

Sesuai instruksi Syekh Syakban, kami harus menunggu orang yang akan mengantarkan kami sampai di kediaman beliau. Kami sudah janjian dan sepakat kalau jam 10 sudah sampai di Munib dan selanjutnya akan ada mobil yang membawa kami ke Bani Suef. Mobil yang kami tunggu ternyata baru sampai di Munib jam 12 duhur sehingga kami harus menunggu selama dua jam di Munib menantikan mobil jemputan. Dua jam itu kami lalui dengan duduk-duduk dan ngobrol santai di tempat shai (Teh) dan makan fuul untuk breakfast. Dua jam berikutnya mobilpun datang dan kita dibawa menembus padang pasir berkilo-kilo meter dan sampailah kami di kediaman Syekh Syakban tepat adzan asar.

Syekh Syakban menyambut kami dengan sambutan sangat hangat. Kami bergantian menyalami dan memeluk beliau satu per satu. Di rumah beliau, kami dijamu dan diperlakukan dengan sangat terhormat. Syekh Syakban yang kini menjadi mudir yayasan di bawah naungan al Azhar mengatakan sangat rindu dengan al hikmah. Beliau menanyakan kabar para masyayikh dan asatidz di pondok pesantren al hikmah. 

“salah satu nikmat yang Allah ta’ala anugerahkan kepadaku adalah aku bisa tinggal dan hidup di Indonesia.” Kurang lebih itu adalah penggalan kalimat beliau ketika mengungkapkan rasa sykukurnya diperkenankan Allah ta’ala bisa tinggal di negara bernama Indonesia. 

Di tempat syekh Syakban kami lebih banyak mendengarkan dzikrayat indah beliau dalam menghabiskan hari-harinya di alhikmah. Beliau berkali-kali menyebut kebaikan syekh Masruri (Rahimahullah). Beliau juga bercerita tentang kunjungan Syekh Taufiq, Raisul Bi’stah yang diajak ke Kali Gua. Beliau juga menanyakan tentang santri-santri alhikmah yang beliau kenal. Juga tentang tahu dan tempe yang menjadi makanan kesukaan orang Indonesia. Beberapa vocabularies bahasa indonesia yang masih beliau hafal juga ikut meramaikan dan menghangatkan obrolan kami. Ust. Ahmad Musyadad yang telah merampungkan studinya pada kesempatan tersebut juga meminta izin pamit kalalu dirinya akan melakukan safar ke Indonesia di akhir bulan ini. Dia minta izin kalau dirinya akan pulang untuk menikah dan insha Allah akan kembali ke Mesir dengan membawa istrinya dan melanjutkan s2. Syekh Syakban memberi nasehat kepada kita semua agar dalam memilih istri hendaknya seorang muslim memperhatikan segi agamanya. Prioritas agama hendaklah didahulukan dari pada yang lainnya. Namun jika ternyata empat kriteria yang Rasulullah wartakan itu ada pada seorang wanita maka sungguh beruntunglah. Kecantikan, harta, nasab dan agama adalah kriteria yang Rasulullah sabdakan dalam salah satu hadistnya shallallahu 'alaihi wa sallam

Di waktu makan kami ditawari mau makan apa. Kami disuruh menentukan menu untuk dihidangkan. Kami yang orang jawa pememagang teguh rasa pakewuh tidak bisa menentukan menu. Kami menyerahkan sepenuhnya pilihan menu kepada tuan rumah. 

Kediaman Syekh Shalihin tidak terlalu jauh dari kediaman Syekh Syakban. Kami membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai ke sana. Setelah shalat Asar, kami naik angkutan menuju rumah Syekh Shalihin. Sopir angkutan yang kami tumpangi ternyata tidak hafal rute daerah Syekh Shalihin. Kami sempat kesasar sebelum akhirnya sampai di desa el Syantur tempat syekh Shalihin berada. 

Turun dari angkutan, kami menyalami dan memeluk Syekh Shalihin satu-satu bergantian. Kami menanyakan kabar beliau dan sebaliknkya. Kami di bawa masuk ke rumahnya dan langsung dijamu dengan jamuan yang begitu nikmat. Tidak lama setelah kami duduk, adzan maghrib berkumandang. Kami shalat berjamaah di masjid. Sepanjang perjalanan menuju masjid orang-orang desa memandangi kami. Kami disalami dan memberi salam. Syekh Shalihin juga menunjukan pohon pepaya yang sudah tumbuh besar yang benihnya beliau bawa dari Indonesia. Beliau mengatakan meskipun bisa tumbuh dengan gagah namun pepayanya tidak besar seperti pepaya yang ada di desa Benda. 

Setelah selesai shalat maghrib, kami kembali ke rumah beliau dan salah seorang tetangga beliau yang juga seorang Mab’ust al azhar ikut duduk bersama kami. Syekh Abdullah namanya. Beliau kebagian tugas di Chad, salah satu negara miskin di benua Afrika. Kami ngobrol santai dengan beliau. Istri Syekh Shalihin dan anak perempuannya juga ikut duduk menemani kami. Syekh Shalihin memperkenalkan anggota keluraganya kepada kami. Syekh Shalihin menanyakan kondisi alhikmah setelah ditinggal Abah Yai (Rahimahullah). Beliau juga bercerita tentang dzikrayat indahnya di Indonesia. Kami mendengarkan dan sesekali bertanya. Obrolan kami kemana-mana hingga akhirnya beliau menawari kita mau makan malam dengan menu apa. Kali ini kami meminta mulukhiyah untuk menu makan malam. Kami pun dijamu dengan begitu terhormat. Jam menunjukan pukul 9 malam ketika kami berpamitan untuk kembali ke rumah Syekh Syakban. Beliau kelihatan begitu kaget karena kami tidak menginap di rumahnya. Kami meminta maaf karena tas dan barang-barang, kami tinggalkan di rumah Syekh Syakban. Kami berjanji insha Allah kunjungan berikutnya kami akan menginap. Istri syekh Shalihin bahkan kelihatan berkaca-kaca karena kami tidak menginap di rumahnya. kami diantar oleh Syekh Shalihin, istrinya dan anak perempuannya ke tempat pemberhentian mobil. Kami melambaikan tangan. Mereka ditinggal sepi.

Mentari Pagi Waktu Dhuha di Bani Suef

Musim dingin belum usai. Embun pagi yang membasahi dedauan terlihat begitu indah bagai butiran berlian bergelantungan tersinari mentari. Sawah gandum mulai ramai dikunjungi oleh para pemiliknya atau pekerjanya. Kerbau dan sapi dituntun oleh ibu paruh baya dengan mengendarai keledai. Pagi di Bani Suef mengingatkan kami pada sawah-sawah di bumi al hi
kmah.

Hamparan hijau terbentang begitu luas. Ujungnya dipagar pohon-pohon kurma menjulang tinggi. Kami menyusurinya dan berpoto ria di sana seperti anak kecil. Warga desanya ramah dan bersahabat. Senyum mengembang di setiap orang yang kami temui. Salam sapa dari kami mereka sambut dengan penuh penghormatan.  Kami berbaur dan berinteraksi dengan mereka. Pemandangan alam yang begitu mempesona tidak bisa kami temui di Kairo yang dipenuhi dengan apartemen-apatemen dan bisingnya kota. 

Kami sengaja mengunjungi sawah-sawah dan pemandangan hijau di waktu pagi selepas shalat shubuh. Kami jalan-jalan melihat warna-warni kehidupan. Ketenangan desa dan hijaunya alam menjadikan kami merasa nyaman. Kami mampir di sebuah gubug. Pemilik gubugnya mempersilahkan kami bahkan kami dihidangi teh panas. Sambil menunggu air mendidih kami sempatkan untuk mengobrol dan bermujamalah dengannya. Keledai yang dia punya kami coba untuk naiki. Keledai yang tidak ada di indonesia bisa dengan mudah kami temui di sini. Orang desa Mesir adalah orang yang ramah seramah orang indonesia yang juga tinggal di desa. 

Previous
Next Post »