Oleh:
Syem Sudin
[ii]
“Ilmu ini –hadis- adalah Agama, maka
tengoklah dari siapa kamu mengambil –ilmu- Agama itu” Ibnu Sîrîn
Sebagaimana
Allah Swt. telah menjaga al-Qur`an yang merupakan sumber pertama dalam
penentuan syari`at Islam, begitu pula Allah Swt. Telah menjaga hadis yang
merupkan sumber kedua dalam penetuan Syari`at islam. Penjagaan hadis adalah
suatu kelaziman atas penjagaan al-Qur`an, karena hadis merupakan
pengejawantahan atas apa yang ada dalam al-Qur`an, baik melalui takhshish
`am, maupun menjelas partikel suatu ibadah yang global tersirat
dalam al-Qur`an.
Telah maklum,
bahwa semua yang bersumber dari Rasulullah Saw. Baik berupa ucapan,
perbuatan, dan ketetapannya adalah hal
yang hak, terhindar dari kesalahan (ma`shum), wajib diikuti. Sebagaimana
dijelaskan dalam Qur`an Surat
al-Mâidah:93, al-Najm:3, al-Hasyr:7, dan al-Ahzâb:21.
Allah
menciptakan hukum Alam diatas muka bumi ini, yaitu setiap sesuatu pasti berpasang-pasangan.
Setiap ada atas pasti ada bawah, setiap ada hak pasti ada batil, begitu pun ada
orang yang mukmin hakiki da nada orang munafik. Hukum Alam ini ada bersamaan
adanya Allah menciptakan Alam, sehingga ketika masa Rasul pun terdapat orang munafik
dari kalangan Islam. Namun, di masa Rasul terdapat seorang sahabat yang diberi
ilmu mengetahui orang munafik, yaitu Hudzaifah al Yamani. Sehingga setiap kabar
yang datang dari para sahabat di masa Rasul masih bisa terlindungi dari
kemunafikan yang bersumber dari tubuh umat islam itu sendiri. Setalah Nabi Muhammad meninggal dunia (11 H.), umat
islam dinahkodai oleh penerusnya dari kalangan sahabat, yaitu oleh Khulafâ
Râsyidîn. Semua sahabat Nabi Muhammad memiliki kejujuran dan sifat adil yang
telah tertanam kuat pada diri mereka, ini semua tak lain hasil didikan Madrasah
Muhammadiyyah. Sebagaimana Allah Swt. Telah meridhai kepada para sahabat. “Sebagaimana
orang-orang yang terdahulu, lagi yang
pertama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka syurga-syurga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya,; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah:100).
Hadis di masa sahabat terlindungi
sebagaimana di masa Nabi Muhammad. Mereka merupakan komunitas masyarakat ideal
yang telah di didik oleh Rasulullah Saw. Yang merupakan hasil bimbingan wahyu
Allah. Sebagaimana dijelaskan oleh Barrâ bin `Âzib, “tidak semua dari kita
mendengarkan langsung hadis dari Nabi Muhammad Saw., kami memiliki pekerjaan
dan kesibukan –masing-masing-, akan tetapi semua manusia –sahabat- tidak pernah
berbohong sehingga orang yang mendatangi Rasul menyampaikan kepada yang
ghaib.”. Bahkan para sahabat di masa Rasulullah tidak mengenal apa itu
bohong, karena mereka hidup dalam kejujuran yang telah ajarkan oleh Nabi
Muhammad. Sebagimana yang telah diterangkan Anas, “Apakah kamu mendengar
–hadis- ini dari Rasulullah?. Dia –Anas- menjawab, iya, demi Allah, kami tidak
berbohong dan kami tidak mengetahui apa itu bohong.”. Dan mereka berpegang kuat
dengan hadis Rasul. Dari Rib`î bin Haras, dia mendengar Ali bin Abi Thalib
berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “ Janganlah sekali-kali kalian berbohong
atasku, barang siapa berbohong atasku maka dia akan masuk Neraka.”, dan masih
banyak hadis yang senada, melarang dan mengancam kebohongan terhadap hadis
Rasul.
1. Kilas
Balik Kisah Khulafâ Rasyidin Sebagai Awal Munculnya Aliran Dalam Islam
a.
Abu Bakar Sidik
( Rabiul Awwal, 11 H. – Jumadil Akhir, 13 H.)
Ketika Abu Bakar
Sidik memimpin, kesibukannya memerangi penentang pajak dan orang-orang murtad
setelah Nabi Muhammad meninggal dunia. Kepemimpinannya sukses untuk
menyelesaikan masalah tersebut dalam kurun kurang lebih tiga tahun, bahkan
dalam masa kepemimpinannya terjadi ekspansi Iraq dan Persi. Abu Bakar meninggal
karena kerinduannya kepada Rasul.
b.
Umar bin Khotob
( Jumadil Akhir, 13 H.-Dzul Hijjah, 23 H.)
Umar bin Khothob
melanjutkan kepemimpinan Abu Bakar.
Ekspansi terjadi besar-besaran ketika masa kepemimpinan Umar bin Khotob. Namun,
hadis di masa Abu Bakar dan Umar masih selamat dari ulah orang munafik walau di
masa Abu Bakar terdapat orang-orang yang murtad. Umar bin Khotob meninggal
c.
Usman bin Affan
dan awal munculnya fitnah
Usman bin Affan
( Dzul Hijjah, 23 H.- Dzul Hijjah, 35 H.) menjadi khulafa rasyidin yang ke tiga
menggantikan Umar. Ketika itu ada tiga calon khalifah, yaitu Ali bin Abi
Thalib, Ustam ibn Affan, dan Abdurrahman bin Auf. Namun, Usman lah yang
kemudian terpilih dan di baiat oleh Abdurrahman bin Auf, Ali bin Abi
Thalib, sahabat dan para tabi`in.
Ketika islam
sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia, muncul lah orang Yahudi yang menyamar
sebagai ulama, yaitu Abdullah bin Saba. Tepatnya tahun 34 H. dia menyebarkan
fitnah di kalangan umat Islam. Dia menyerukan bahwa yang lebih berhak menjadi
khalifah bukanlah Usman melainkan Ali bin Abi Thalib. Dia menyebarkan pemikiran
ini kepada pemeluk Islam di Mesir, Bashrah, dan Kuffah. Orang-orang yang
hatinya lemah menjadi sasaran empuknya. Pada tahun 35 H. tepat di musim haji,
Abdullah bin Saba yang telah berpindah dari Shan`â ke Mesir berangkat ke
Madinah untuk melaksanakan haji. Dia telah menyebarkan surat himbauan kepada
pengikutnya di Mesir, bashrah, dan Kuffah untuk berangkat haji dan umrah di
tahun itu. Setelah mereka sampai di Madinah, mereka kemudian menyebarkan fitnah
hasil olahan Abdullah bin Saba. Mereka menuntut supaya Usman bin Affan turun dari
jabatan kekhalifahan. Mereka mengepung dan menawan Usman bin Affan di
kediamannya. Usman menyerukan umat islam untuk tidak berperang antar umat
Islam, karena peperangan antar umat Islam hukumnya haram kecuali dalam tiga
hal, kepada orang yang murtad dan membangkang, orang muhshon yang
berzina, dan qishash.
Sekelompok
pengikut Abdullah bin Saba mampu menerobos masuk ke rumah Usman, akhirnya
terjadilah pembunuhan Usman yang dilakukan oleh antek-antek Saba, tepatnya pada
hari Jum`at, 18 Dzul Hijjah 35 H. Ali bin Abi Thalib dan para sahabat lainnya
tidak menyangka sampai terjadi
pembunuhan Usman. Ali dan sahabat lainnya berpegang kepada perintah pemimpin
mereka, Usman bin Affan, untuk tidak mengangkat senjata terhadap sesame umat
Islam.
d.
Ali bin Abi
Thalib (Dzul Hijjah, 35 H.- Ramadhan, 40 H.)
Ketika Ali bin
Abi Thalib menjadi khalifah, kelompok yang telah diracuni pemikirannya oleh
Abdullah bin Saba tidak kunjung diam. Mereka disisipi pemikiran baru olehnya
untuk menuntut qishash pembunuh Usman bin Affan.
Setelah perang shifin
(38 H.) yang merupakan perang yang dikendalikan oleh Ali bin Abi Thalib untuk
mengajak Muawiyyah bin Abi Shofyan untuk berada dalam tampu kekuasaan khilafah
yang di ampu oleh Ali. Namun Muawwiyah menolaknya. Setelah itu terjadi tahkim,
antara pendukung yang pro Ali dan yang kontra atas hasil tahkim.
Sehingga dari sinilah mulai tumbuh benih kelompok khawarij dan syi`ah. Pada
tahun 40 H. Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh kelompok yang telah menetang
kepemimpinannya. Sebagaimana dalam hadis Rasul, “…..Kamu akan dibunuh oleh
kelompok pembangkang”. Benar adanya, karena yang membunuh Ali adalah
kelompok yang menolak kepemimpinan Ali, sedangkan Ali adalah pemimpin yang sah
saat itu, sehingga kelompok yang tidak mau mengikuti disebut pembangkang.
Ini sekelumit
kilas balik perjalanan khulafâ rasyidin, dimana disana merupakan awal mula
munculnya kelompok-kelompok yang akan selalu dinamis dalam ranah politik.
Namun, dalam perjalanannya, mereka membawa ranah religious untuk benteng dan
tameng politik mereka. Dari sini bisa di ambil titik temu, bahwa munculnya
khawarij dan syi`ah merupakan awal mula munculnya pemalsuan hadis.
2.
Hadis Palsu
(Maudlu`)
a.
Sejarah Singkat
Munculnya Hadis Palsu
Setelah Nabi
Muhammad wafat para sahabat berusaha keras untuk mendapatkan hadis Nabi. Usaha
sahabat tidak hanya meminta kepada sahabat lain untuk membacakan hadis yang dia
hafal, melainkan mereka mendatangkan saksi untuk menguatkan apa yang dibacakan
oleh seorang sahabat, bahwa itu bersumber dari Rasulullah.
Pada masa
khalifah Usman, kemudian dilanjutkan dengan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib,
disanalah mulai terjadi fitnah. Sebagaimana digambarkan oleh Ibnu Sîriîn (w.110
H.), Ibnu Sîrîn berkata, belum pernah para sahabat – semenjak Rasul sampai
sebelum datangnya fitnah- bertanya tentang isnad. Namun ketika terjadi
fitnah, para sahabat bertanya kepada yang lain untuk menyebutkan perawi
hadisnya. Ketika perawinya ahlussunah maka hadisnya diterima, dan ketika
perawinya adalah ahli bid`ah maka hadisnya tidak di ambil”.
Dari tahun 35-
40 H. merupakan benih munculnya aliran yang kemudian berpengaruh terhadap
keaslian dan pemalsuan hadis. Dari sini lah kemudian ulama memperhatikan perawi
hadis dalam suatu hadis (isnad). Diantara literature yang dimunculkan
untuk berkhidmat terhadap sunah untuk menaggulangi pemalsuan hadis adalah
adanya Ilmu Jarh wa ta`dil.
b.
Usaha Ulama
Dalam Menghadapi Hadis Palsu
1.
Berusaha keras untuk memdalami
perawi suatu hadis, diantaranya dengan cara membaca profil tiap rawi melalui
literature Jarh wa Ta`dil, klasifikasi hadis seorang perawi dalam karya ulama,
semisal kumpulan hadis dhaif karya Ibnu Hibban.
2.
Meneliti kevalidan suatu
hadis kepada perawinya dan kepada
guru-gurunya.
3.
Membuat kaidah tentang pembagian
hadis secara detail dan memberikan batasan-batasan untuk bisa membedakan antara
hadis yang shahih, dha`îf, dan yang maudhu`.
c.
Diantara Sebab
Pemalsuan Hadis
1.
Politik
Politik
merupakan bagian dalam kehidupan manusia, namun ketika suatu politik di
nakhkodai oleh kepentingan-kepentinga individual atau kelompok, maka ke
objektifitasan politik akan hilang.
Begitupun
pergulatan politik masa Ali bin Abi Thalib yang di dukung oleh kelompok syi`ah
dan Muawwiyyah yang kemudian di dukung oleh khawarij. Keduanya saling menyerang
satu sama lain untuk menjatuhkan lawan dan mengangkat kelompoknya dengan
berdalih hadis, yang mana hadis ini merupakan hadis palsu.
Ulama
berpendapat, bahwa syi`ah bersumber dari Abdullah bin Saba, sebagaimana
diketengahkan oleh Ibnu taimiyyah.
Syi`ah
memalsukan hadis yang di nisbatkan kepada Rasul tentang keutaman Ali bin Abi
Thalib, “Barang siapa yang tidak berkata Ali sebaik-baik manusia maka dia
kafir”, hadis ini palsu karena di dalam perawinya ada Muhammad bin Katsir
Kuffah, dia merupakan orang syi`ah yang di curigai memalsukan hadis.
Begitupun
khawarij tak mau tinggal diam, mereka membuat hadis palsu yang berisi tentang
keutamaan khulaf6a rasyidin dan Muawwiyyah kecuali Ali bin Abi Thalib.
2.
Fanatik Ekstrim
Begitupun yang
terjadi pada syia`ah dan khawarij, keduanya terlalu fanatic terhadap salah satu
kelompok. Sehingga, mereka berusaha mencari dan membuat sebuah dalil untuk
memperkuat apa yang mereka ingin dan ikuti. Fanatik ini pun bersambung tangan
hingga masa sekarang, kepada sekelompok orang yang terlalu fanatic terhadap Abu
Hanifah. Sehingga mereka memalsukan hadis tentang keutamaan Abu Hanifah. Rasul
bersabda: “ Akan ada dari umatku lelaki yang diberi nama Abu Hanifah, dia
adalah penerang umatku.”. Ini merupakan contoh hadis palsu yang di buat oleh
pengikut yang terlalu fanatic terhadap Abu Hanifah. Namun sumber dari fanatik
adalah ketidak fahaman mereka terhadap agama.
3.
Beberapa
Ciri-ciri Hadis Palsu
a.
Ditinjau dari perawinya
-
Perawi terkenal sebagai pembohong
atas Rasulullah baik atas dasar testimoni orang yang semasa dengannya maupun
pengakuannya sendiri.
-
Peawi yang meriwayatkan hadis
dari guru yang tidak semasa atau semasa namun tidak pernah bertemu.
-
Perawi dikenal sebagai orang yang
menganggap remeh dan menghalalalkan kebohongan, semisal yang terjadi pada
kelompok syi`ah.
b.
Ditinjau dari matan hadisnya
-
Lafal dan makna yang gharib dan
sulit.
-
Isi hadis kontradiktif dengan hal
pasti dan logika sehat, sedangkan isi hadis itu tidak bisa di takwil-kan
kedalam arti lain.
-
Isi hadis kontradiktif dengan
Qur`an, hadis, ijma` dan tidak mampu di temukan antara keduanya.
4.
Jarh Wa Ta`dil
dan Perannya
Ulama setelah
melihat adanya pemalsuan hadis, maka mereka mencari solusi untuk bisa diketahui
apakah hadis itu palsu atau asli. Kemudian ulama menemukan Ilmu Jarh wa Ta`dl
yang merupakan kepanjangan dari seruan Allah Swt., Allah berfirman: “Wahai
orang-orang yang beriman klarifikasilah ketika ada orang fasik datang membawa
suatu berita..” (QS. Al Hujurât:6). Dan Ilmu ini merupakan bentuk khidmat ulama
untuk melindungi hadis yang merupakan sumber kedua syari`at Islam.
Adapun Jarh wa
ta`dil itu sendiri sudah ada semenjak masa Nabi Muhammad. Sebagaimana di
kisahkan ketika Fatimah binti Qois di ceraikan oleh suaminya karena tidak
mendapatkan nafakah, Fatimah melaporkan masalahnya kepada Rasulullah. Ketika
Rasul tahu, bahwa suaminya tidak mampu untuk memberikan nafkah kepadanya
kemudian rasul memerintahkannya untuk melaksanakan `iddah. Stelah `iddah-nya
selesai, Fatimah bercerita kepada Rasulullah bahwa Abu Jahm dan Muawwiyyah
bermaksud menikahinya. Rasul berkata, Abu jahm itu tak mampu meletakan
tongkatnya diatas bahunya, sedangkan Muawwiyah itu orangnya kurus dan tidak
punya harta, maka nikahilah Usamah. Kemudian Fatimah menikahi Usamah. ini
merupakan sedikit contoh akan adanya Jarh wa Ta`dil di masa Rasulullah.
Adapun Jarh wa
Ta`dil itu sendiri berfungsi untuk mengetahui pendapat ulama akan kualitas dan
kredebilitas seorang perawi, sehingga suatu hadis bisa dinyatakan shahih,
hasan, dhaif, dan maudhu`. Dengan ilmu ini, kepalsuan hadis bisa diketahui jika
ditinjau dari segi sanad, walau masih banyak kriteria lain yang bisa menyatakan
hadis itu dinyatakan palsu.
Pemalsuan hadis
tidak terjadi di masa Nabi Muhammad. Sahabat Nabi tidak terbesit sedikitpun
tentang pemalsuan hadis, bahkan mereka tidak mengetahui apa itu bohong. Namun
semenjak masuknya orang zindiq yang fasik,, orang Yahudi, Abdullah bin Saba. Ke
kalangan umat Islam dengan membawa pemikiran akan ketidak layakan Usman sebagai
khlaifah terus digencarkan hingga Usman terbunuh dan disusul dengan terbunuhnya
Ali bin Abi Thalib.
Mulai dari masa
itu lah muncul aliran dalam tubuh umat
Islam, yaitu syi`ah dah khawarij. Untuk melancarkan tujuan-tujuan mereka
kemudian tidak sedikit mereka memalsukan hadis Nabi. Namun Allah tidak
meninggalkan hadis yang merupakan sumber kedua syari`at islam sebagaimana Allah
telah menjaga al-Qur`an. Allah memberikan ilmu terhadap sahabat dan generasi
seterusnya berdasar atas didikan yang telah diajarkan Rasul. Maka muncullah
literature keilmuan dalam bidang hadis semisal Jarh wa ta`dil, buku masalah
hadis dhoif, maudhu` dan lain sebagainya.
Usaha ulama
sampai sekarang merupakan implementasi Allah atas janji-Nya untuk
melindungi wahyu-Nya. Dan kebatilan pasti ada, namun kebenaran juga tidak akan
pernah tinggal diam hingga hari akhir datang.
Ø Referensi
-
Anggota Kajian dan Pembelajaran
Islam, al Mausû`ah fi al Târikh al Islamiyyah, Kairo, Muassasah Iqro li
Nasyr wa Tauzi`, 2005.
-
Abu Imarah, Dr. Mushtafa
Muhammad, al Tahqiq wa al Idhoh Limasaila Min Ulum al Istilah, Kairo,
Cet. IV, 20114.
-
Muhammad, Dr. Ridho Zakaria, al Irsyâd Ila Kaifiyat Dirâsah al Isnâd, Kairo,
Cet. III, 2010.
-
Kumpulan Ulama Azhar, Shahih
Muslim, Kairo, Maknaz.
-
Kumpulan Ulama Azhar, Shahih
Bukhori, Kairo, Maknaz.
-
Kumpulan Ulama Azhar, al
Muqadimah Mausu`at al hadis al Syarif, Kairo, Maknaz.
-
Suyuthi, Jalaluddin,Tadrib
Rawi fi Syarh Taqrib An Nawawi, Kairo, Darul Hadis.
-
Abdul Baqi, Muhamad Fuad, al
Mu`jam al Mufahras, kairo, Darul Hadis.
-
Al Asqolani, Ibnu Hajar, Syarh
An Nukhbat , Kairo ,Darul Bashoir.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon