Oleh: Uly Ni’matil Izzah
Prolog
Membincang tentang keterkaitan
antara agama dan budaya diNusantara, tentunya telah masyhur di telinga kita istilah Walisongo. Mereka adalah para
pengelana yang turut menyebarkan agama Islam khususnya di daerah Jawa.Sebagaimana
Islam merupakan agama yang mencintai kedamaian, maka demikian pula cara mereka
mengenalkan Islam. Secara dakwahnya mereka benar-benar menerapkan apa yang telah
ditegaskan dalam al Qur’an. “Serulah
(manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik” (QS an-Nahl: 125).Juga sabda Nabi saat mengutus
Abu Musa dan Mu’adz berdakwah, “Mudahkanlah, jangan mempersulit. Berilah kabar
gembira, jangan membuat (objek dakwah) lari!” (HR Muslim).
Istilah Walisongo berasal dari
dua kata, yaitu wali dan songo. Kata wali berasal dari bahasa Arab yang berarti
pembela, teman dekat, dan pemimpin. Oleh karena itu, perkataan wali biasanya
diartikan sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT (waliyullah). Sedangkan kata songo berasal dari bahasa Jawa, yang
berarti sembilan. Maka, walisongo berarti sembilan wali yang dekat dengan Allah
SWT, karena terus-menerus beribadah kepada-Nya, sehingga mereka memiliki
kekeramatan, dan kelebihan kemampuan di luar kebiasaan manusia biasa.
Kesembilan wali itu adalah: Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri,
Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati.
Harian Duta Masyarakat mengungkap bahwaIslam masuk Nusantara sejak zaman
Rasulullah. Yakni berdasarkan literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M
telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Kemudian
Marcopolo menyebutkan, saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H/1292 M, telah
banyak orang Arab menyebarkan Islam. Begitu pula Ibnu Bathuthah, pengembara
muslim, yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H/1345 M menuliskan bahwa di Aceh
telah tersebar mazhab Syafi’i. Tapi baru abad 9 H (abad 15 M) penduduk pribumi
memeluk Islam secara massal (Duta Masyarakat, 28-30 Maret 2007).
Masa itu adalah masa dakwah
Walisongo. Dimana kala itu mereka berhadapan dengan masyarakat yang sangat jauh
dari peradaban Islam. Latar belakang mereka sebagai masyarakat beragama Hindu
atau Budha tidak lantas secara radikal ditolak dan dilarang. Tetapi dalam
dakwahnya mereka lebih menggunakan cara kultural, melewati seni, lagu dan
kegemaran-kegemaran masyarakat yang dibubuhkanke dalamnya makna-makna Islam.
Pengejawantahan Dakwah Islam Sesungguuhnya
Sebuah Hadits dari Aisyah R.a,
“Rasulullah memerintah kami memperlakukan manusia sesuai keberadaan (akal)
mereka.” (HR Abu Dawud)
Modern ini, dunia Islam kerap
kali tercoreng dan banyak ditakuti banyak kalangan. Bahkan sampai muncul
istilah Islamic Phobia, yang menunjukkan betapa Islam dimata mereka adalah
sebuah ajaran yang mengerikan. Islamophobia adalah salah satu unsur eksternal
dalam tubuh Islam sendiri yang tentunya harus kita perangi secara sehat. Lebih
membahayakan lagi adalah faktor internal yang tercipta dari dalam tubuh Islam
sendiri; terpecah belahnya kesatuan umat dengan mengatasnamakan diri sebagai
golongan yang paling benar.
Selain dua faktor di atas,
selanjutnya adalah bagaimana usaha kita untuk mendakwahkan Islam. Sebagaimana
akulturasi budaya kemudian membiaskan beberapa sikap pada masyarakat.
Diantaranya radikal, akomodasi, kompromis dan pembaharuan. Maka walisongo
adalah mereka yang kompromis sekaligus memperbaharui. Dimana budaya yang telah
ada kemudian diadopsi dengan dibubuhi nilai-nilai keislaman. Pengadopsian ini
bukan semata wujud mentah dari budaya yang telah berlaku, akan tetapi
pengadopsian ini kemudian memberi bekal dan mengantarkan mereka kepada ajaran
agama Islam. Sehingga dalam penerimaannya akan lebih mudah.
Budaya-budaya yang sebelumnya
berdasarkan atas agama yang mereka anut, oleh parawalisongo sedikit demi
sedikit dimodifikasi dengan bentuk ajaran agama Islam yang bersifat makna.
Semisal pada kesenian-kesenian yang digemari, Sunan Bonang melalui pagelaran
wayangnya menghadirkan tafsir-tafsir ayat al Qur’an yang tentunya sangat
mempengaruhi masyarakatnya. Melalui pagelaran itu masyarakat sedang diajak dan
dibimbing dalam menata etika bermasyarakat dan bertuhan.
Point pertama dari pengejawantahan
dakwah yang sesungguhnya adalah, dimana walisongo sangat memperhatikan budaya
dan menghargainya. Karena budaya merupakan unsur kehidupan bermasyarakat yang
inti di setiap zamannya. Keberagamaan mereka saat itu masih sangat kental
dengan tradisi-tradisi daerah. Maka sangat tepat ketika walisongo secara
kreatif memberi nutrisi keagamaan pada budaya-budayanya.
Kedua, perihal alam berpikir
masyarakat. Dalam artian walisongo telah memberikan porsi pembelajaran dan
pengajaran keilmuan Islam sesuai dengan batas kemampuan akal mereka menerima.
Pendekatan yang bersifat pribadi saja tidak menghasilkan tanpa adanya
penyampaian yang baik dan proporsional.Dan yang paling utama adalah budi pekerti
yang menghiasi kepribadian walisongo, sehingga masyarakat dengan mudah tertarik
dan mengikuti ajaran Islam.
Epilog
Demikian, walisongo telah memberi
contoh yang real tentang keterkaitan
dan cara mendialogkan agama dan budaya di Nusantara tercinta. Perlu kiranya
ketiga point penting dari dakwah walisongo ini kembali dihidupkan agar Islam
dapat diterima dengan mudah oleh berbagai kalangan. Menciptakan masyarakat
muslim yang membangun kebudayaan berlandaskan dan bernafaskan agama yang haq. Dakwah Islam tidak seharusnya
bersifat radikal. Sehingga akan meninggalkan kesan bahwa Islam adalah agama
bengis dan selalu menggunakan pedang dalam mengajak umatnya. Proporsonal dalam
berdakwah, sehingga apa yang diajarkan akan lebih cepat dipahami dan
dilaksanakan. Wallahu a’lam.
Sejarah Walisongo
1. Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim, atau
Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada
paruh awal abad 14. Beliau meninggal dunia pada tahun 1419. Dikenali juga
sebagai Syekh Magribi. "Kakek Bantal" adalah juga sebutan oleh
penduduk Jawa. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra
Pasai yang juga merupakan ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak
adalah anak dari seorang ulama Persia bernama Maulana Jumadil Kubro, yang
menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10
dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. Selama tiga belas tahun sejak
tahun 1379 Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa atau sekarang
dikenali Kamboja (Cambodia). Ia mempunyai seorang isteri dari putri raja dan
mendapat dua orang anak iaitu Raden Rahmat yang dikenal sebagai Sunan Ampel dan
Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri.
Pada tahun 1392 setelah merasakan
puas berdakwah di Kambodia, Maulana Malik Ibrahim berhijrah ke Pulau Jawa
dengan meninggalkan keluarganya. Daerah yang dituju pertama kali adalah Desa
Sembalo, sebuah daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan kerajaan
Majapahit. Desa Sembalo kini adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer
ke utara kota Gresik. Kegiatan pertama yang dilakukannya ketika itu adalah
berdagang dengan cara membuka warung sembako dengan harga yang murah. Selain
itu, beliau juga menyediakan diri untuk mengobati pesakit yang memerlukan
bantuan secara percuma. Selain itu, beliau yang juga dikenal sebagai Kakek
Bantal yang telah mengajar cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul
masyarakat bawahan yaitu suatu kasta yang disisihkan dalam masyarakat dan
budaya Hindu. Misi pertama beliau sangat berjaya untuk mencari tempat di hati
masyarakat yang ketika itu dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Sebelum
meninggal dunia pada tahun 1419, Maulana Malik Ibrahim sempat mendirikan tempat
untuk pembelajaran agama di Leran. Jenazahnya dimakamkan di Desa Gapura,
Gresik, Jawa Timur.
2. Sunan Ampel
Sunan Ampel adalah anak sulung Maulana
Malik Ibrahim. Nama asalnya adalah Raden Rahmat dan dilahirkan di Campa pada
1401 Masehi. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, Surabaya (kota Wonokromo
sekarang) adalah tempatnya bermukim dan menyibarkan agama Islam. Sunan Ampel
datang ke Pulau Jawa pada tahun 1443 bersama adiknya Sayid Ali Murtadho.
Sebelum ke Jawa pada tahun 1440, mereka sempat singgah di Palembang. Setelah
tiga tahun di Palembang, mereka melabuh dan berhijrah ke daerah Gresik.
Seterusnya mereka ke Majapahit untuk menemui ibu saudaranya, seorang putri dari
Campa yang bernama Dwarawati. Ibu saudaranya ini telah dipersunting oleh salah
seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya. Sunan
Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia
dikurniakan beberapa orang anak lelaki dan perempuan. Diantaranya yang menjadi
penerus tugas-tugas dakwah adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajad. Ketika
Kesultanan Demak, 25 kilometer arah selatan kota Kudus hendak didirikan, Sunan
Ampel turut bersama mendirikan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Pada tahun
1475, Sunan Ampel telah mengusulkan agar Raden Fatah anak lelaki Prabu
Brawijaya V (Raja Majapahit) untuk menjadi Sultan Demak.
Di Ampel Denta, daerah yang
dihadiahkan oleh Raja Majapahit, ia membangun dan mengembangkan pondok
pesantren. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi pusat
pendidikan yang sangat berpengaruh di Nusantara. Di antara para santrinya
adalah Sunan Giri dan Raden Fatah. Para santri tersebut kemudian berdakwah ke
berbagai pelosok di Pulau Jawa dan Madura. Sunan Ampel menganut fikih mahzab
Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana
yang menekankan akidah dan ibadah. Beliaulah yang mengenalkan istilah "Moh
Limo" satu istilah dalam bahasa Jawa yang dimaksudkan sebagai "Tidak
Mahu Lima Perkara" yaitu moh main (tidak bermain judi), moh ngombe (tidak
meminum minuman keras), moh maling (tidak mencuri), moh madat (tidak mengguna
dadah dan narkotik) dan moh madon (tidak berzina). Sunan Ampel meninggal dunia
dan disemadikan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya pada tahun 1481.
3. Sunan Giri
Sunan Giri lahir di Blambangan
pada tahun 1442. Memiliki beberapa nama panggilan yaitu Raden Paku, Prabu
Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan
di desa Giri, Kebomas, Gresik.
Terdapat beberapa silsilah Sunan
Giri yang berbeda. Ada pendapat mengatakan ia adalah anak Maulana Ishaq,
seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan
menikah dengan Dewi Sekardadu, putri dari Menak Sembuyu, penguasa wilayah
Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit. Pendapat lainnya
menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW iaitu
melalui keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far
ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir,
Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam,
Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah
(al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar
al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa
Timur dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut. Sunan Giri merupakan anak
dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi
Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir
Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah penyakit
di wilayah tersebut. Ia dipaksa untuk membuang anaknya, Dewi Sekardadu dengan
menghanyutkannya ke laut. Kemudiannya, bayi tersebut dijumpai oleh sekelompok
awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang
saudagar perempuan pemilik kapal yaitu Nyai Gede Pinatih dan dinamakan bayi
tersebut sebagai Joko Samudra. Ketika dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke
Surabaya untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Ketika Sunan Ampel mengetahui
latar belakang murid kesayangannya ini maka ia diantar kepada Makdhum Ibrahim
(Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh
Maulana Ishaq yang tidak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko
Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal usul dan alasan
mengapa dia dulu dibuang. Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku
atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian
mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti,
Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal
masyarakat dengan sebutan Sunan Giri. Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal
sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya
sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus
berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang
menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya
ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat beberapa karya seni
tradisional Jawa yang sering dianggap mempunyai hubungan erat dengan Sunan
Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir
dan Cublak Suweng serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti
Asmaradana dan Pucung.
4. Sunan Bonang
Beliau adalah anak Sunan Ampel
yang juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum
Ibrahim. Dilahirkan pada tahun 1465. Ibunya bernama Nyi Ageng Manila, seorang
puteri adipati di Tuban. Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di
Ampel Denta. Setelah dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok
Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya
beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha. Ia kemudian menetap
di Bonang, di sebuah desa kecil di Lasem, Jawa Tengah sejauh 15 kilometer ke
timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan, zawiyah atau
pesantren yang kini dikenali dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula
sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, bahkan sempat menjadi panglima
tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tidak pernah menghentikan
kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah terpencil dan sukar untuk
didakwahkan seperti di Tuban, Pati, Madura dan sehingga ke Pulau Bawean. Pada
tahun 1525 beliau meninggal dunia di Pulau Bawean. Jenazahnya dimakamkan di
Tuban, di sebelah barat Masjid Agung setelah sebelumnya, masyarakat Bawean dan
Tuban berebut jenazah. Sunan Bonang tidak seperti Sunan Giri yang memfokuskan
fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan
garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra
dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang
mahir mencari sumber air di tempat-tempat gersang. Ajaran Sunan Bonang
berintikan pada filsafah 'cinta' ('isyq).
Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Mengikut Sunan Bonang, cinta
bersama iman, pengetahuan intuitif yaitu ma’rifat
dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq
al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara popular melalui media
kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bekerjasama dan
bersama dengan Sunan Kalijaga, murid kesayangannya. Sunan Bonang banyak
melahirkan karya sastra berupa suluk atau tembang tamsil. Salah satunya adalah
"Suluk Wijil" yang banyak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya
banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan
yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah
Fansuri. Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan
estetika Hindu, dengan memberi gaya dan nafas baru. Dialah yang menjadi
pencipta gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang.
Gubahannya ketika itu memiliki dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan
alam. Salah satu karya Sunan Bonang adalah "Tombo Ati". Dalam pentas
wayang kulit, Sunan Bonang adalah dalang yang sangat digemari penontonnya.
Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam.
Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan oleh Sunan Bonang sebagai
peperangan antara penafian dan 'isbah
atau peneguhan iman.
5. Sunan Drajat
Sunan Drajat dilahirkan pada
tahun 1470. Namanya semasa kecil adalah Raden Qasim, kemudian digelar Raden
Syarifudin. Terkenal dengan kecerdasannya, anak dari Sunan Ampel dan bersaudara
dengan Sunan Bonang. Sunan Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa
Drajat, Paciran, Lamongan.
Setelah menguasai pelajaran dalam
bidang agama Islam, beliau menyebarkannya di desa Drajat di kecamatan Paciran.
Tempat ini diberikan oleh kerajaan Demak. Ia digelari Sunan Mayang Madu oleh
Raden Patah pada tahun 1442/1520 masehi. Beliau mengambil tempat di Desa Drajat
wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan sebagai pusat
kegiatan dakwahnya. Beliau menguasai kerajaan Demak selama 36 tahun.
Sebagai Wali penyebar Islam yang
terkenal, beliau sangat perihatin dengan rakyat miskin dengan terlebih dahulu
mengusahakan kesejahteraan sosial dan memberikan pemahaman tentang ajaran
Islam. Motivasinya lebih ditekankan pada etos kerja keras, menderma dan sedekah
memberantas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran. Usahanya kearah itu menjadi
lebih mudah kerana Sunan Drajat memperoleh kekuasaan untuk mengatur wilayahnya
yang mempunyai otonomi.
6. Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah
"wali" yang paling banyak disebut oleh masyarakat Jawa. Dilahirkan
pada tahun 1450 dari bapaknya yang bernama Arya Wilatikta seorang Adipati Tuban
keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Ketika itu Arya
Wilatikta telah menganut agama Islam. Nama semasa kecil Sunan Kalijaga adalah
Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh
Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.
Terdapat berbagai versi mengenai
asal-usul nama Kalijaga yang digunakannya. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa
nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah
bermukim di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa
mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam di sungai (kali) atau
"jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa
Arab "qadli dzaqa" yang menunjukkan statusnya sebagai "penghulu
suci" kesultanan.
Semasa hidupnya Sunan Kalijaga
mencapai umur lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir
kekuasaan Majapahit yang berakhir pada tahun 1478, Kesultanan Demak, Kesultanan
Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal
kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula
merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang
"tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama
masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam dakwah, ia mempunyai pola yang sama
dengan Sunan Bonang, mentor yang juga sahabat karibnya.
Pemahaman keagamaannya cenderung
kepada "sufistik salaf" dan bukan sufi panteistik; pemujaan semata.
Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai cara untuk berdakwah dan sangat
bersesuaian dengan budaya setempat. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan
menjauhkan diri jika diserang dengan pendirian dan pegangannya. Maka mereka
harus didekati secara berangsur-angsur, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan
Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah difahami, dengan sendirinya kebiasaan
lama akan hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga sangat
berkesan. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk
sebagai cara berdakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg
maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota
berupa Kraton dan masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Cara berdakwah
tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui
Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen,
Banyumas, serta Pajang (sekarang dikenali Kotagede Yogya). Jenazah Sunan Kalijaga
dimakamkan di Kadilangu yaitu di selatan Demak.
7. Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati dilahirkan pada
tahun 1448. Ibunya adalah Nyai Rara Santang putri dari raja Pajajaran, Raden
Manah Rarasa. Ayahnya pula adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar
Mesir berketurunan Bani Hasyim dari Palestin. Syarif Hidayatullah mendalami
ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke
berbagai negara. Setelah berdirinya Kesultanan Bintoro di Demak, dan atas restu
kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai
Kasultanan Pakungwati. Begitupun banyak kisah tidak sesuai yang telah dikaitkan
dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami
perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj dan bertemu dengan Rasulullah SAW,
bertemu Nabi Khidir dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. Semuanya hanya
mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati adalah
satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung
Jati menggunakan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan
agama Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam
berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah. Namun ia juga mendekati
rakyat dengan membangunkan infrastruktur seperti jalan-jalan yang menghubungkan
antara wilayah.
Bersama dengan anaknya yang
bernama Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke
Banten. Beliau diterima sebagai bakal Kesultanan Banten. Sebaliknya pada usia
89 tahun, Sunan Gunung Jati mengundurkan diri dari jawatan yang dipegangnya dan
hanya ingin meneruskan dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran
Pasarean. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati meninggal dunia di Cirebon pada
usia 120 tahun. Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, 15
kilometer sebelum memasuki kota Cirebon dari arah barat.
8. Sunan Kudus
Namanya semasa kecil adalah Ja’far
Shadiq. Beliau adalah anak dari pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah iaitu adik
Sunan Bonang, anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah
salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di
Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang. Sunan Kudus banyak
berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di
Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga ke Gunung Kidul. Cara berdakwahnya juga
meniru pendekatan Sunan Kalijaga yang sangat toleran pada budaya setempat.
Inilah yang menyebabkan para wali yang lain meminta beliau berdakwah ke Kudus
yang dikatakan sangat sukar untuk ditembusi. Gaya dan cara Sunan Kudus
mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan
Budha. Hal ini dapat dilihat dari arkituktur masjid Kudus. Bentuk menara,
gerbang dan pancuran untuk berwudhu yang melambangkan delapan jalan Budha
sebagai suatu pendekatan dan kompromi oleh Sunan Kudus. Suatu ketika ia
memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan dakwahnya dengan cara
ia sengaja menambatkan lembunya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman
masjid. Penganut Hindu sangat mengagungkan lembu, menjadi simpati. Apalagi
setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al-Baqarah yang
bererti "Lembu Betina". Sehingga kini, sebahagian masyarakat
tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih lembu. Sunan Kudus juga
menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri,
sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kisah selanjutnya. Inilah satu
pendekatan yang nampaknya seperti memasukkan cerita 1001 malam dari Khalifah
Abbasiyah. Begitulah cara Sunan Kudus mengikat masyarakat. Sebagaimana ayahnya,
ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut sama berperang
di Demak diantara Sultan Prawata melawan Adipati Jipang Arya Penangsang.
9. Sunan Muria
Sunan Muria adalah anak kepada
Dewi Saroh, adik kandung Sunan Giri yang juga merupakan anak Syekh Maulana
Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria
diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke
utara kota Kudus. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya Sunan
Kalijaga. Begitupun, perbedaan dengan ayahnya adalah Sunan Muria lebih suka
tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan
agama Islam. Beliau bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan cara
bercocok tanam, berdagang dan menjadi nelayan adalah kesukaannya. Sunan Muria
seringkali dijadikan pula sebagai orang tengah dalam sebarang konflik di
Kesultanan Demak (1518-1530), Ia sangat dikenal dengan kepribadiannya yang
mampu memecahkan berbagai masalah walaupun sangat rumit. Sunan Muria berdakwah
dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil
dakwahnya melalui seni adalah lagu Sinom dan Kinanti .
https://www.facebook.com/Unizalhaura
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon