Komparasi Integritas Agama & Budaya

oleh: Lukman Hakim [1]

I.   Pendahuluan

Ketika Islam mulai dikenal dunia dengan kebenaran dan keotentikan apa yang ia bawa, mulai bermunculan sekelompok orang yang kontra terhadap kemajuan yang terjadi pada Islam. Mereka mulai melancarkan berbagai cara untuk melawan agama ini, mulai dari perlawanan fisik hingga pemikiran, yang tentu bertujuan untuk memecah belah, dan dengan mudah mereka akan menggerogoti satu persatu kubu islam yang tercerai-berai, seperti yang terjadi pada saudara-saudara sesama muslim yang berada di Gaza saat ini. Dengan pelbagai macam alasan politik mereka menginvasi tanah umat muslim di banyak negara.

Budaya pun menjadi salah satu aspek perlawanan ideologi mereka. Dengan memunculkan pemahaman-pemahaman yang melenceng dari ajaran yang sebenarnya di kalangan orang awam seperti syubhat baik pada teks al-Qur'an dan hadist maupun pada syariat-syariat islam itu sendiri. Seperti yang terjadi di Tunisa tahun 2006 lalu, terjadi kerenggangan sosial antara pemerintah dengan masyarakat muslim di sana. Mentri Agama Tunisia, Abubakar Akhzuri, melarang penggunaan jilbab bagi seluruh rakyat Tunisia. Mereka mengklaim bahwa jilbab bukan merupakan budaya mereka, tak seharusnya mereka mengikuti budaya asing tersebut di dalam kominitas mereka. Bahkan salah satu profesor pada sebuah Universitas disana, Munjiah Al-Sawahi, menyatakan bahwa jilbab adalah peninggalan budaya Yunani dan Roma, dan tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam. Ia juga membantah kalau Syariah Islam menetapkan kode etik berpakaian yang wajib dilakukan para Muslimah[2].

Semua ini tak bisa dipungkiri ada campur tangan dari mereka yang kontra dengan Islam dan jelas sekali menjadi salah satu bentuk perlawanan ideologis pasca perlawanan fisik melalui gerakan imperealisme. Semuanya itu tidak lain untuk menjauhkan umat Islam dari fitrah mereka demi tercapainya tujuan mereka yang tak lain hanyalah agar umat islam jatuh terjerembab ke dalam jebakan yang mereka buat, mereka lakukan segala cara walaupun itu berdampak pada generasi mereka sendiri.

"orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu"[3].

Rosulullah S.A.W. bersabda : "Kalian akan benar-benar mengikuti kebiasaan kaum sebelum kalian, sedikit demi sedikit hingga seandainya mereka masuk ke lubang biawak pun kalian akan mengikutinya. Kami (para sahabat) bertanya : wahai Rosulullah, apakah mereka itu yahudi dan nasrani? Beliau bersabda : siapa lagi!!"[4].

Dengan gerakan selangkah lebih maju, mereka dengan mudah menanamkan budaya-budaya yang jauh keluar dari syari'at Islam kepada para muslimin. Akibatnya, pikiran tercemari, anak- anak SD/SMP dan seusianya yang sedang berkembang mendalami ilmu pengetahuan tercemari dengan berbagai bentuk trend dan corak westernisasi melalui apa yang mereka saksikan di dunia maya. Juga dengan peran media yang tidak mencerminkan sama sekali etika yang baik secara umum. Tak heran bila pada zaman ini dikenal ungkapan “dewasa sebelum waktunya” untuk generasi anak.

Dengan kemajuan zaman yang sangat pesat ini, manusia lupa akan jati dirinya, budayanya dan agamannya. Banyak bibit unggul yang terlena dengan kefanaan dunia, menjadikannya membusuk dalam karung-karung kebobrokan. Akhirnya, bukan hanya tak bisa menghasilkan apa-apa, bahkan lebih parahnya lagi, tumbuh tinggi menjadi benalu raksasa yang menyusahkan banyak orang.

II.    Pembahasan

A.   Pengertian Agama dan Budaya

Dalam terminologi Islam, agama merupakan ketentuan Allah S.W.T. yang menjadi barometer bagi seluruh makhluk yang berakal sehat untuk kebaikan di dunia dan kebahagian di akhirat[5]. Adapun menurut perspektif agama yang lain, seperti Nasrani contohnya, agama adalah suatu ungkapan dari undang-undang yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Katolik mengatakan bahwa agama merupakan hubungan antara makhluk dengan Tuhan yang hidup yang menurunkan wahyu dan berpesan untuk mendirikan gereja untuk menjaga wahyu tersebut, begitu juga Protestan, Hindu, dan agama lainnya tak jauh berbeda, hanya saja ideologi mereka masing-masing yang membedakan antara satu dengan yang lainnya[6]. Dalam KBBI, agama merupakan ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Dan ada banyak lagi pengertian agama dari beragam bahasa dan suku seperti bahasa Sangkrit, Semit dan lain-lain yang kesemuanya tidak keluar dari lingkup hubungan antara Sang Pencipta dan makhluk-Nya. Ini menunjukan bahwa dengan segala corak adat istiadatnya, mengenal Tuhan adalah fitrah manusia. Sedangkan pandangan kaum Atheis yang tidak mempercayai sama sekali eksistensi Tuhan dan menganggap bahwa keberadaan agama merupakan suatu bentuk rasa takut manusia kepada alam[7], tidak bisa menjadi dasar atas sikap atheistis mereka. Karena akal pikiran dan hati tak akan pernah mengingkari adanya Tuhan.

Adapun pengertian budaya adalah pikiran, akal budi, adat istiadat serta sesuatu yang telah menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Sedangkan kebudayaan sendiri merupakan  hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya[8]. Kata budaya atau kebudayaan itu sendiri berasal dari bahasa Sansakerta yaitu budhayah, yang merupakan bentuk jamak dari budhi (budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia[9]. Dari sini menunjukan bahwa kebudayaan bukanlah bentuk dari integritas yang tidak disengaja pada suatu komunitas dalam interaksinya, akan tetapi berasal dari hasil pemikiran mereka untuk mempermudah dan berkembang dalam kehidupan.

Ditinjau dari sudut historis, agama yang dipeluk oleh manusia di dunia dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, agama wahyu dan agama budaya[10]. Agama wahyu merupakan agama yang turun dari langit untuk memberikan petunjuk dan pedoman dalam kehidupan, walaupun tidak bisa dijamin semua agama samawi absah dan otentik untuk saat ini. Sedangkan agama budaya merupakan agama yang tercipta dari akal dan filsafat pemeluknya, agama ini juga disebut agama bumi karena ciptaan daya tangkap manusia itu sendiri, seperti Budha, Hindu, Zorodester dan lainnya. Dengan  begitu, tidak semua agama merupakan produk budaya.

Dalam hal ini agama Islam, Islam merupakan agama wahyu yang sampai sekarang masih terjamin keotentikan dan keasliannya. Dengan bukti sejarah dan ilmu pengetahuan, di zaman ini tak ada yang sanggup membuktikan bahwa agama ini luntur dan tidak absolut murni lagi. Dengan persentase 1:4 dari jumlah penduduk di dunia, Islam menempati agama yang paling banyak penganutnya dari berbagai macam negara, suku dan bangsa dengan pelbagai macam adat istiadat dan budaya setiap penganutnya.

Database CNN pada tahun 2010 lalu mengatakan populasi penganut agama Islam di dunia mencapai 23 % dari total jumlah penduduk dunia yang berjumlah 6.8 miliyar[11]. Hal ini membantah pernyataan suatu kelompok yang mengatakan agama Islam merupakan produk budaya Arab. Bagaimanapun juga setiap bangsa mempunyai budaya dan peradabannya masing-masing yang tentunya berbeda-beda pula corak dan bentuknya, bila Islam merupakan produk budaya maka akan berbenturan antara budaya satu dengan budaya yang lain.

B.   Kombinasi antara Agama dan Budaya

Budaya memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan komunitas masyarakat di sekitarnya. Walaupun tidak bisa dinafikan bahwa banyak kebudayaan yang tertanam dalam suatu suku bangsa yang tidak sesuai dengan syari'at yang dibawa oleh Islam. Dengan begitu, hubungan budaya dengan agama secara umum mengalami beberapa sikap[12] :

1.  Sikap radikal, merupakan suatu sikap agama menentang kebudayaan setempat. Ini merupakan sikap radikal dan ekslusif, menekankan pertentangan antara agama dan kebudayaan. Menurut pandangan ini, semua situasi dan kondisi masyarakat berlawanan dengan keinginan dan kehendak agama. Oleh sebab itu, manusia harus memilih agama atau kebudayaan, karena seseorang tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Dengan demikian, semua praktek dalam unsur-unsur kebudayaan harus ditolak ketika menjadi umat beragama.

2. Sikap akomodatif, memandang agama milik kebudayaan. Sikap ini menunjukkan keselarasan antara agama dan kebudayaan.

3.  Sikap perpaduan, bahwa agama di atas kebudayaan. Sikap ini menunjukkan adanya suatu keterikatan antara agama dan kebudayaan. Hidup dan kehidupan manusia harus terarah pada tujuan ilahi dan insani; manusia harus mempunyai dua tujuan sekaligus.

4.  Sikap pembaharuan, agama memperbaharui kebudayaan. Sikap ini menunjukkan bahwa agama harus memperbaharui masyarakat dan segala sesuatu yang bertalian didalamnya. Hal ini bukan bermakna memperbaiki dan membuat pengertian kebudayaan yang baru; melainkan memperbaharui hasil kebudayaan. Oleh sebab itu, jika umat beragama mau mempraktekkan unsur-unsur budaya, maka perlu memperbaikinya agar tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Karena perkembangan dan kemajuan masyarakat, maka setiap saat muncul hasil-hasil kebudayaan yang baru. Oleh sebab itu, upaya pembaharuan kebudayaan harus terus menerus. Dalam arti, jika masyarakat lokal mendapat pengaruh hasil kebudayaan dari luar komunitas sosio-kulturalnya, maka mereka wajib melakukan pembaharuan agar dapat diterima, cocok, dan tepat ketika mengfungsikan atau menggunakannya.

Inilah sikap-sikap yang terjadi ketika agama dan budaya dipertemukan. Sedangkan Islam datang dengan syari'at yang dapat menyesuaikan keadaan suatu masyarakat, akan tetapi bukan berarti Islam akan tunduk dan patuh mengikuti adat istiadat kebudayaan pada suatu suku, melainkan Islam akan menghiasi, berpadu, bahkan memperbaharui suatu kebudayaan hingga dapat diterima oleh masyarakat sekitarnya. Di Indonesia contohnya, Islam datang ke tanah air ketika budaya hindu-budha sedang sangat kental di tengah masyarakat. Tetapi Islam tidak serta merta menyalahkan dan mengganti budaya yang telah mereka anut, melainkan menghiasi dan memodifikasi budaya-budaya tersebut agar terhindar dari kesalahan religius seperti yang telah diusahakan oleh para Wali Songo.

Clifford Geertz mengungkapkan[13] bahwa masyarakat Jawa terbagi tiga kategori, yaitu abangan, santri, dan priyayi. Kategori abangan oleh Clifford Geertz dilihat lebih menekankan pentingnya animistik; santri cenderung lebih menekankan pada aspek-aspek Islam; dan priyayi tampak lebih menekankan aspek Hindu. Ia mengatakan "bahwa yang dinamakan agama Jawa tidak lain adalah sinkretisme. la melihat adanya perpaduan antara kepercayaan asli masyarakat Jawa dan kepercayaan Islam yang datang belakangan. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam praktik slametan yang biasanya dilakukan oleh kalangan Abangan. Pada praktik slametan terkandung berbagai unsur adat lokal dan Islam. Di situ ada praktik magis berupa kepercayaan kepada roh, dan ada pula penyisipan unsur Islam, yaitu doa yang dikumandangkan pada saat selesai melakukan acara slemetan. Sehingga Islam melebur dalam budaya masyarakat dan mampu mewarnai setiap gerak kehidupan yang ada tanpa melepaskan akidah dan syariatnya".

Berbeda ceritanya bila ajaran pada suatu agama menjadi budaya bagi penganutnya, dan ini sangat jauh dari konteks agama merupakan produk budaya, bahkan menjadi sebaliknya budaya produk agama atau bisa disebut agama yang dibudayakan. Dengan kata lain agama yang dibudayakan[14] adalah ajaran suatu agama yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh penganutnya sehingga menghasilkan suatu karya/budaya tertentu yang mencerminkan ajaran agama yang dibudayakannya itu. Atau singkatnya, membudayakan agama berarti membumikan dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
Memandang agama bukan sebagai peraturan yang dibuat oleh Tuhan untuk menyenangkan Tuhan, melainkan agama itu sebagai kebutuhan manusia dan untuk kebaikan manusia. Adanya agama merupakan hakekat perwujudan Tuhan. Nah itulah yang terjadi pada agama Islam khususnya, bukan budaya yang menjadikan Islam akan tetapi Islam yang menjadikan budaya.

Satu contoh, syari'at Islam mengajarkan bahwa "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya"[15]. Dari ayat ini Islam memerintahkan umatnya untuk saling tolong menolong, hal ini melahirkan sikap tenggang rasa dan gotong royong yang mengakar pada setiap muslim dan menjadi budaya dalam keseharian hidup bermasyarakat. Begitu juga perintah shalat berjama'ah, menguatkan persaudaraan antar tetangga ketika saling bertemu dan bertegur sapa, dan masih banyak lagi contoh dari pembudayaan agama.

Hubungan erat itu adalah bahwa Islam merupakan dasar, asas pengendali, pemberi arah, dan sekaligus merupakan sumber nilai-nilai budaya dalam pengembangan dan perkembangan kultural. Agama (Islam) lah yang menjadi pengawal, pembimbing, dan pelestari seluruh rangsangan dan gerak budaya, sehingga ia menjadi kebudayaan yang bercorak dan beridentitas Islam[16].

C. Konteks Agama Islam dalam Budaya Jawa

Menurut Muhaimin,[17] di Jawa, ”Islam tidak menyusun bangunan peradaban, tapi hanya menyelaraskannya”. Bagi masyarakat Jawa, Islam adalah tradisi asing yang dipeluk dan dibawa oleh para saudagar musafir di pesisir. Melalui proses panjang asimilasi secara damai dan berhasil membentuk kantong-kantong masyarakat pedagang di beberapa kota besar dan di kalangan petani kaya. Komunitas muslim itu kemudian memeluk  suatu sinkritisme yang menekankan aspek kebudayaan Islam. Dengan penyelarasan dan perpaduan yang dilakukan Islam terhadap masyarakat Jawa khususnya membuat corak budaya Jawa saat itu mengalami kemajuan. Menurut sumber Tiongkok[18], ketika perutusan Tiongkok datang ke Jawa Timur (1413 M), mereka melihat adanya tiga macam masyarakat, yaitu :

1.    Orang – orang Islam yang berpakaian bersih, hidupnya teratur dan makanannya enak-enak.
2.    Orang – orang Cina yang pola hidupnya hampir sama dengan orang Islam, bahkan di antara mereka banyak yang sudah muslim.
3.    Penduduk setempat yang masih kumuh, tidak bersongkok dan tidak bersepatu.

III.  Kesimpulan

Komparasi antara agama dan budaya di atas mengungkapkan bahwa tidak semua agama merupakan produk budaya, dan tidak sebaliknya. Karena semua yang berkaitan dengan suatu agama baik itu agama samawi ataupun agama bumi, akan memberikan pengaruh dalam cara hidup manusia baik disadari ataupun tidak dan kemudian menjadi corak dan identitas atas komunitas lingkup masyarakat tersebut.

Hasan hanafi dalam kitabnya Al-Din wa al-Tsaqofah wa al-Siyasah fi al-Wathoni al-'Arabiy mengungkapkan, "syarat untuk memajukan suatu masyarakat dan kebangkitan secara menyeluruh adalah dengan memadukan tiga unsur yaitu agama, ilmu dan kebudayaan. Tanpa salah satu dari ketiganya, suatu lingkup masyarakat tak akan bisa berdiri dan terus maju dan berkembang". Beliau juga mengutip perkataan René Descartes bahwa saya berfikir (berbudaya) maka saya ada.

IV.  Daftar Pustaka

A.   Literatur Buku

-    Al-quran. cet. 10. Cairo : Dar el Fajr El Islami.
-    As Sahroni, As'ad. Tarjamanu al-Adyan. Cairo : Dar El Nafais.
-    Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. terjemah oleh Aswab Mahasin. 1989. Jakarta: Pustaka Jaya.
-    Hanafi, Hasan. Al-Din wa al-Tsaqofah wa al-Siyasah fi al-Wathoni al-'Arabiy. Cairo: Maktabah El Usrah.
-    Hubaisy, Toha Addasuqi, dkk. Nadharat fi al-Diyanat al-Syarqiyah. Cairo: Al-Azhar University.
-    Ibrahim, Bakar Zaki. Al Madkhal ila 'Ilm Muqaranati al-Adyan baina al-Yahuniyati wa al-Masihiyati wa al-Islami. Cairo: Al- Azhar University.
-    Ismail, Faisal. 1998. Paragdima Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
-    Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline, Versi 1.3.
-    Muhaimin, AG. 2002. Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret. Jakarta: P.T. Logos Wacana Ilmu.
-    Muhammad, Abu 'Abdallah bin Ismail Al Bukhori. Shohihul Bukhori. Cairo: Microsoft office.

B.   Literatur Cyber

-    Abbah Jappy : Hubungan agama dan budaya.
-    Bayu pramutoko, SE,MM : Islam Sebagai Ideologi dan Islam Sebagai Budaya.
-    Jafar Amirudin (penulis kompasiana).

------------------------------------------------------------



[1] Makalah ini disusun oleh Lukman Hakim Mahasiswa Al-Azhar Cairo tingkat 3 Fakultas Ushuludin Jurusan Dakwah.
[2] Era Muslim: Media Islam Rujukan 5 Zulhijjah 1426 H / 5 Januari 2006.
[3] Q.S. Al Baqarah : 120.
[4] H.R. Bukhori r.a. : 6889.
[5] Dr. Toha dasuki, dkk, An-Nadhorot Fi Al Diyanat Al Syarqiyah, Cairo: Al-Azhar University.
[6] Dr. Bakri Zaki Ibrahim, Al Madhol Ila 'Ilmi Muqoronah Al Adyan, Cairo: Al- Azhar University.
[7] Ibid.
[8] Kamus Besar Bahasa Indonesia.
[9] Jafar Amirudin (penulis Kompasiana)
[10] Bayu Pramutoko, SE,MM, Islam Sebagai Ediologi Dan Islam Sebagai Budaya
[11] www.eraislam.net
[12] Abbah Jappy : Hubungan agama dan budaya
[13] Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terjemah oleh Aswab Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989).
[14] Bayu Pramutoko, SE,MM, Islam Sebagai Ediologi Dan Islam Sebagai Budaya.
[15] Q.S. Al Maidah : 02.
[16] Faisal Ismail, Paragdima Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 43-44.
[17] Muhaimin .AG. 2002, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, (Jakarta: P.T. Logos Wacana Ilmu).
[18] Bayu Pramutoko, SE,MM, Islam Sebagai Ediologi Dan Islam Sebagai Budaya.


https://www.facebook.com/luxs.numbers?fref=ts 

Previous
Next Post »