Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits


Oleh: M. Hasan syaeful Rijal


A.    Ilmu Hadis Pada Permulaan Abad Hijriyah

Perkembangan ilmu hadist sendiri telah muncul seiring dengan perkembangan penyebaran agama islam di muka bumi ini, bermula pada masa Nabi Muhammad S.A.W bisa kita sebut sebagai masa pembentukan hadis. Pada masa inilah para shahabat sangat gemar sekali untuk menghafalkan sabda Rasulullah S.A.W karena sabda-sabda beliyau merupakan sumber hukum sayariat islam kedua setelah Al-Qur’an sebagai penjelas makna-makna yang terkandung didalamnya, perhatian para sahabat sangat besar sekali terhadap kemurnian hadist yang mereka dengar langsung dari Rasulullah dan menyampaikannya kepada sahabat lain yang belum mendengar langsung dari Rasulullah kemudian mereka menghafalnya dalam dada mereka masing-masing.

Para sahabat sangat berhati-hati sekali dalam menukil dan menerima hadist nabi Muhammad S.A.W untuk kemudian menyebarkannya ke sahabat yang lainnya, seperti yang telah dilakukan oleh Shahabat Abu Bakar, Umar bin Khottob, Abu Musa al-Asy’ari dan sahabat lainya, dalam menerima suatu riwayat dari sahabat yang lainnya selalu meminta kepada pembawa kabar itu seorang saksi untuk memperkuat keakuratan kabar tersebut. Hal ini dilakukan bukan karena keraguan terhadap kejujuran pembawa berita tersebut akan tetapi untuk membangun sebuah metode yang detail, kuat dan kokoh dalam periwayatan sebuah hadist guna menjaga kemurnian yang mereka riwayatkan. Dengan berpegang pada Firman Allah yang berbunyi:

يا أيهالذين أمنوا إن جاءكم فاسق بنبأٍ فتبينوا أن تصيبوا قوما بجهالة فتصبحوا علي ما فعلتم نادمين  (سورة الحجرات : 6)

Berita tentang perilaku Nabi Muhammad (sabda, perbuatan, sikap ) didapat dari seorang sahabat atau lebih yang kebetulan hadir atau menyaksikan saat itu, berita itu kemudian disampaikan kepada sahabat yang lain yang kebetulan sedang tidak hadir atau tidak menyaksikan. Kemudian berita itu disampaikan kepada murid-muridnya yang disebut tabi'in (satu generasi dibawah sahabat). Berita itu kemudian disampaikan lagi ke murid-murid dari generasi selanjutnya lagi yaitu para tabi'ut tabi'in dan seterusnya hingga sampai kepada pembukuan hadist (mudawwin).

Pada masa Sang Nabi masih hidup, Hadis belum ditulis dan berada dalam benak atau hafalan para sahabat. Para sahabat belum merasa ada urgensi untuk melakukan penulisan mengingat Nabi masih mudah dihubungi untuk dimintai keterangan-keterangan tentang segala sesuatu. Di antara sahabat tidak semua bergaulnya dengan Nabi. Ada yang sering menyertai, ada yang beberapa kali saja bertemu Nabi. Oleh sebab itu Al Hadits yang dimiliki sahabat itu tidak selalu sama banyaknya ataupun macamnya. Demikian pula ketelitiannya. Namun demikian di antara para sahabat itu sering bertukar berita (Hadist) sehingga prilaku Nabi Muhammad banyak yang diteladani, ditaati dan diamalkan sahabat bahkan umat Islam pada umumnya pada waktu Nabi Muhammad masih hidup.

Dengan demikian pelaksanaan Al Hadist dikalangan umat Islam saat itu selalu berada dalam kendali dan pengawasan Nabi Muhammad S.A.W baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya para sahabat tidak mudah berbuat kesalahan yang berlarut-larut. Al Hadist yang telah diamalkan/ditaati oleh umat Islam dimasa Nabi Muhammad hidup ini oleh ahli Hadist disebut sebagai Sunnah Muttaba'ah Ma'rufah. Itulah setinggi-tinggi kekuatan kebenaran Al Hadist. Meski pada masa itu Al Hadist berada pada ingatan para sahabat, namun ada sahabat yang menuliskannya untuk kepentingan catatan pribadinya (bukan untuk kepentingan umum). Di antaranya ialah:

1.'Abdullah bin 'Umar bin 'Ash (dalam himpunan As Shadiqah)
2.'Ali bin Abi Thalib (dalam shahifahnya mengenai huku-hukum diyat yaitu soal denda atau ganti rugi).

Masa penggalian Setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 11 H / 632 M) pada awalnya tidak menimbulkan masalah mengenai Al Hadist karena para pembesar shahabat  masih cukup jumlahnya dan seakan-akan menggantikan peran Nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang memerlukan pemecahan, baik mengenai Al Hadist ataupun Al Quran. Dan diantara mereka masih sering bertemu untuk berbagai keperluan.

Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 - 23 H atau 634 - 644 M) wilayah dakwah Islamiyah dan daulah Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan macam masalah yang memerlukan pemecahannya. Meski para sahabat tempat tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, namun kebutuhan untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut terus mendorong para sahabat makin saling bertemu bertukar Al Hadist. Kemudian para sahabat kecil mulai mengambil alih tugas penggalian Al Hadits dari sumbernya ialah para sahabat besar. Kehadiran seorang sahabat besar selalu menjadi pusat perhatian para sahabat kecil terutama para tabi'in. Meski memerlukan perjalanan jauh tidak segan-segan para tabi'in ini berusaha menemui seorang sahabat yang memiliki Al Hadist yang sangat diperlukannya. Maka para tabi'in mulai banyak memiliki Al Hadist yang diterima atau digalinya dari sumbernya yaitu para sahabat. Meski begitu, sekaligus sebagai catatan pada masa itu adalah Al Hadist belum ditulis apalagi dibukukan.  

Masa penghimpunan, Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Musibah itu berupa permusuhan di antara sebagian umat Islam yang meminta korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang bermusuhan itu semula hanya memperebutkan kedudukan kekhalifahan kemudian bergeser kepada bidang Syari'at dan Aqidah dengan membuat Al Hadist Maudlu' (palsu) yang jumlah dan macamnya tidak tanggung-tanggung guna mengesahkan atau membenarkan dan menguatkan keinginan/perjuangan mereka yang saling bermusuhan itu. Untungnya mereka tidak mungkin memalsukan Al Quran, Karena selain sudah didiwankan (dibukukan) tidak sedikit yang telah hafal. Hanya saja mereka yang bermusuhan itu memberikan tafsir- tafsir Al Quran belaka untuk memenuhi keinginan atau pahamnya.

Keadaan menjadi semakin memprihatinkan dengan terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan terutama para tabi'in mengingat kondisi demikian itu lantas mengambil sikap tidak mau lagi menerima Al Hadist baru, yaitu yang sebelumnya tidak mereka miliki. Kalaupun menerima, para shabat kecil dan tabi'in ini sangat berhat-hati sekali. Diteliti dengan secermat-cermatnya mengenai siapa yang menjadi sumber dan siapa yang membawakannya. Sebab mereka ini tahu benar siapa-siapa yang melibatkan diri atau terlibat dalam persengketaan dan permusuhan masa itu. Mereka tahu benar keadaan pribadi-pribadi sumber / pemberita Al Hadist. Misal apakah seorang yang pelupa atau tidak, masih kanak-kanak atau telah udzur, benar atau tidaknya sumber dan pemberitaan suatu Al Hadist dan sebagainya. Pengetahuan yang demikian itu diwariskan kepada murid-muridnya ialah para tabi'ut tabi'in.

B.     Ilmu Hadis Pada Tahun Ke-2 Dan ke-3 Hijriah

Selepas abad pertama, memasuki abad pertengahan ke-2 H seiring berjalannya perkembangnya penyebaran Islam di muka bumi ini, mulailah terdapat beberapa pihak yang meriwayatkan hadis mursal, munqoti’ bahkan terdapat banyak orang yang meriwayatkan hadis palsu dan dengan periwayatan yang salah, hal tersebut dikarenakan pada masa ini telah tersebarnya kelompok-kelompok politik, keagamaan dan kefanatikan golongan serta membaurnya budaya-budaya non-islam, sampai-sampai muncul pihak yang sengaja menyebarkan kebohongan dan bid’ah demi  kepentingan kelompok mereka, menghadapi permasalah seperti ini para ulama ahli hadis pun mulai membicarakan dan membahas permasalahan seputar  ilmu hadis dan menyusunnya dalam sebuah buku.

Memasuki abad ke-2 H ini, para ulama mulai memilah hadis-hadis sahih dan menyusunnya ke dalam berbagai topik. Satu per satu penghafal hadis meninggal dunia. Meluasnya daerah kekuasaan Islam juga membuat para penghafal hadis terpencar-pencar ke berbagai wilayah. Di tengah kondisi itu, upaya pemalsuan hadis demi memuluskan berbagai kepentingan merajalela. Kondisi itu mengundang keprihatinan Umar bin Abdul Aziz (628-720 M), Khalifah Dinasti Umayyah kedelapan yang berkuasa pada 717-720 M. Guna mencegah punahnya hadis, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pembukuan hadis-hadis yang dikuasai para penghafal. Gagasan pembukuan hadis itu pun mendapat dukungan dari para ulama di zaman itu. Sang Khalifah yang dikenal jujur dan adil itu segera memerintahkan Gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm (wafat 117 H) untuk mengumpulkan hadis dari para penghafal yang ada di tanah suci kedua bagi umat Islam itu. Saat itu, di Madinah terdapat dua ulama besar penghafal hadis, yakni Amrah binti Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as- Siddiq. Kedua ulama besar itu paling banyak menerima hadis dan paling dipercaya dalam meriwayatkan hadis dari Aisyah binti Abu Bakar. Selain itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga memerintahkan Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (wafat 124 H) untuk menghimpun hadis yang dikuasai oleh para ulama di Hijaz dan Suriah. Sejarah peradaban Islam mencatat Az-Zuhri sebagai ulama agung dari kelompok tabiin pertama yang membukukan hadis. Memasuki abad ke-3 H upaya pengumpulan,  penulisan,  serta pembukuan hadis dilakukan secara besar-besaran. Para ulama penghafal hadis mencurahkan perhatian mereka untuk menyelamatkan ’sabda Rasulullah SAW’ yang menjadi pedoman kedua bagi umat Islam, setelah Alquran.

Ulama diberbagai kota peradaban Islam telah memberi kontribusi yang besar bagi pengumpulan, penulisan, dan pembukuan buku di abad ke-2 H. Di kota Makkah, ulama yang getol dan fokus menyelamatkan hadis adalah Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij. Pembukuan hadis di kota Madinah dilakukan oleh Malik bin Anas atau Imam malik dan Muhammad bin Ishak. Kegiatan serupa juga dilakukanulama di kota-kota peradaban Islam seperti; Basrah, Yaman, Kufah, Suriah, Khurasan dan Rayy (Iran), serta Mesir. Upaya pengumpulan, penulisan, dan pembukuan hadis pada masa itu belum sesuai harapan. Pada masa itu, masih terjadi percampuran antara sabda Rasulullah SAW dengan fatwa sahabat dan tabiin. Hal itu tampak pada kitab Al-Muwatta yang disusun oleh Imam Malik. Pada zaman itu, isi kitab hadis terbilang amat beragam. Sehingga, ada ulama yang menggolongkannya sebagai al-Musnad, yakni kitab hadis yang disusun berdasarkan urutan nama sahabat yang menerima hadis dari Rasulullah SAW.

Selain itu, ada pula yang memasukan pada kategori al-Jami’, yakni kitab hadis yang memuat delapan pokok masalah, ykitu: akidah, hukum, tafsir, etika , tarikh, sejarah kehidupan Nabi SAW, akhlak, serta perbuatan baik dan tercela. Ada pula yang menggolongkan kitab hadisnya sebagai al-Mu’jam, yakni kitab yang memuat hadis menurut nama sahabat, guru, kabilah, atau tempat hadis itu didapatkan yang diurutkan secara alfabetis. Berbagai upaya dilakukan para ulama periode berikutnya. Para tabi’in dan generasi sesudah tabi’in mencoba memisahkan antara sabda Rasulullah SAW dengan fatwa para sahabat dan tabi’in. Para ulama pun menuliskan hadis yang termasuk sabda Rasulullah lengkap dengan sanadnya atau dikenal sebagai al-Musnad. Ulama generasi pertama yang menulis al-Musnad adalah Abu Dawud Sulaiman Al- Tayasili (133-203H). Setelah itu, ulama generasi berikutnya juga menulis al-Musnad. Salah seorang ulama terkemuka yang menulis kitab hadis itu adalah Ahmad bin Hanbal atau Imam Hambali. Kitab hadisnya dikenal sebagai Musnad al- Imam Ahmad Ibnu Hanbal. Meski telah memisahkan antara hadis sabda Rasulullah SAW dengan fatwa sahabat dan tabi’in, al-Musnad dianggap masih memiliki kekurangan, karena masih mencampurkan hadist sahih, hasan, daif, bahkan hadist palsu alias maudhu.

Memasuki abad ke-3 H, para ulama mulai memilah hadist-hadist sahih dan menyusunnya ke dalam berbagai topik. Abad ini disebut sejarah islam sebagai era tadwin atau pembukuan Alquran. Pada masa ini, muncul  ulama-ulama ahli hadist yang membukukan sabda Rasulullah SAW secara sistematis. Para ulama hadist yang muncul di abad pembukuan hadist itu antara lain; Imam Bukhari menyusun Sahih al-Bukhari; Imam Muslim menyusun Sahih Muslim; Abu Dawud menyusun kitab Sunan Abi Dawud; Imam Abu Isa Muhammad At-Tirmizi menyusun kitab Sunan at-Tirmizi; Imam An-Nasai menyusun kitab Sunan An- Nasai dan Ibnu Majah atau Muhammad bin Yazid ar-Rabai al-Qazwini. Keenam kitab hadist ini kemudian dikenal dengan sebutan al-Kutub as-Sittah atau kitab hadist yang enam. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menetapkan hadis keenam pada jajaran al-Kutub as-Sittah. Sebagian ulama berpendapat, kitab yang keenam itu adalah Sunan Ibnu Hibban karya Ibnu Hibban al-Busti (270-354 H). Ulama lainnya menempatkan al-Muwatta karya Imam Malik sebagai kitab hadist keenam.

Memasuki abad ke-4 H mulailah penkodifikasian hadis menjadi satu bidang tersendiri pada masa ini mulai muncul ulama-ulama ahli hadis beserta karya-karyanya seperti diantaranya:

  • Abu Muhammad Al-Hasan Bin Abdurrahmanbin Khollad Ar-Ramahramzi, beliyaulah ulama yang pertama kali menyusun kitab hadis dengan hasil karya beliyau Al-Muhaddis Al-Fashil Baina Al-Rawi Wa Al- Wa’i. Beliyau wafat tahun 360 H.
  •  
  • ·         Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin al-Bay’I an-Nisaburi wafat tahun 405 H. Dengan karya beliyau Ulum al-Hadis.
  •  
  • ·         Abu Na’im al-Ashfahani. Wafat tahun 430 H.
  •  
  • ·         Abu Bakar Ahmad bin Ali bin tsabit al-Baghdadi wafat tahun 463 H. karya beliyau dalam bidang perundangan periwayatan al-Kifayah fi Qowanin ar-Rawi. Dan dalam ada periwayatan hadis al-Jami’ Liadabi as-Syaikh wa as-Sami’.
  • Qodli ‘Iyad wafat tahun 544 H. karya beliyau yang terkenal al-Ilma’ fi dlobthi ar-Riwayat wa Qowanin as-Sami’.
  • Abu hafshin Umar bin Abdulmajid al-Mayaniji wafat tahun 580 H. karya beliyau Maa Laa Yasa’ al-Muhaddis Jahluhu.
  • Taqiyyudin Abu AmruUsman bin Abdurrahman yang terkenal dengan sebutan Ibnu Sholah as
  • Syahrozuri. Wafat tahun 643 kitab karangan beliyau Ulum la-Hadis. Yang dikenal denga sebutan Mukoddimah Ibnu Sholah. Yang telah disyarahin oleh Imam al-‘Iraqi yang kemudian dikasih nama dengan kitab at-Taqyid wa al-idloh Lima Uthliqo Wa Ughliqo Min Ulumi ibni as-Sholah.
  • Abdurrahim bin al-Husain al-‘iraqi wafat tahun 706 H, karya beliyau Alfiyyatul Hadismerupakan syarah dari kitab Mukoddimah Ibnu Sholah.
  • Abu Zakariya Muhyiddin an_Nawawi wafat tahun 676 H, beliyau meringkas kitabMukoddimah Ibnu Sholah karya Ibnu Sholah dan diberinama al-Irsyad.kemudian diringkas lagi dalam kitabnya at-Taqrib.
  • Imam as-Syuyuthi wafat tahun 911 H, Beliyau telah mensyarahi kitab at-Taqrib tersebut dalam kitabnya yang berjudul Tadrib ar-Rawi.
  • Syaikh Imaduddin Ismail bin Katsir ad-Damasyki wafat tahun 774 H, beliyau telah meringkas juga kitab karya Ibnu sholah tersebut dan memeberi nama karyanya dengan sebutan Ikhtishar ilmu hadis. Dan diantara imam lain yang meringkas karya ibnu sholah diantaranya syaikh Badruddin Muhammad bin Ibrahim bin Jama’ah al-Kannani wafat tahun 733  H. dalam kitabnya al-Manhal ar-Rawiyyi fi al-Hadis n-Nabawi.
  • Ibnu Hajar al-‘Askolani wafat tahun 852 H, beliyau mengarang kitab Nukhbah al-Fikri fi Mushtholahaat Ahli al-Atsar.
  • Imam al-Laknawi dengan kitabnya berjudul ar-Raf’u wa at-Takmil fi al-Jarhi wa at-Ta’dil yang telah di ta’liq oleh Imam Abdulfattah al-Ghoddat.
  • Syaikh Nur ad-Din ‘Itr beliyau dengan kitab karanganya Minhaj an-Naqd fi Ulum al-Hadis. Beliyau juga telah mensyarah kitab Nukhbah al-Fikri fi Mushtholahaat Ahli al-Atsakarya Ibnu Hajar.

Dan masih banyak lagi kitab-kitab karya ulama-ulama islam dalam bidang hadis yang belum bisa kami sebutkan lebih rinci lagi. Dan begitulah mata rantai sejarah perjalanan Ilmu hadis dari sumber awal yaitu masa Nabi Muhammad S.A.W sampai pada masa kita sekarang ini secara mutawatir. Dan insya Allah akan terus terjaga sampai hari akhir kelak, amin.

C.    Kesimpulan

  • Ilmu hadis telah ada sejak zaman Rasulullah S.A.W namun belum berupa sebuah kitab yang tersusun akan tetapi berupa praktek yang dilakukan oleh para sahaba Rasulullah S.A.W.
  • Ide gagasan pembukuan hadis telah di mulai pada abad ke-2 dan ke 3 H. untuk menjaga keotentikan hadis Rasulullah S.A.W. dan pada masa inilah mulai muncul isthilah-istilah ilmu hadis.
  • Memasuki abad ke-3 Hijriyah ilmu hadis telah mulai tersusun rapi secara tematik dan sitematis.

D.    Daftar Pustaka

  • Mahmud, Abdul Halim, as-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha, Kairo, Maktabah al-Iman, 2003.
  • ‘Itr, Nuruddin, syarh an-Nukhbah Nuzhatun Nadzor fi Taudlihi Nukhbah al-Fikri,Kairo, Daar el-Bashoir, 2011. 
  •  Kamil, Umar Abdullah, Madkhol ila Ulum al-Hadis.
  • As-Suyuthi, Tadrib ar-Raawi gi Syarhi Taqrib an-Nawawi, Kairo, Daaru-turats,2005
  • Syahin, Marwan Muhammad Mushthofa, taysir al-Lathif al-Khobir fi Ulumi Hadis al-Basyir an-Nadhir, Diktat Kuliyah Tingkat 1 Ushuluddin, Tahun 2002.
  • Al-Khusyu’i, al-Khusyu’I, Tarikh Sunnah an-Nabawiyah, Diktat Kuliyah Tingkat 1 Ushuluddin, Tahun 2010.

Previous
Next Post »