Ilmu Dan Ilmuwan

(Mahasiwa Al Azhar yang sedang menempuh jenjang pendidikan S2)
Irham Sofwan Lc.
 (Mahasiwa Al Azhar yang sedang menempuh jenjang pendidikan S2)
   Mungkinkah ilmu didapat tanpa guru (ilmuwan)? Dengan kata lain, apakah tanpa berguru seseorang bisa mencapai pemahaman ilmu yang benar? Mungkin saja bisa, mungkin juga tidak. Suatu kali seorang sahabat ngobrol dengan tetangganya, orang Kurdistan. Saat si sahabat menjelang masuk kamar, kata-kata yang terlontar dari si Kurdistan mulai kurang enak terdengar. Ia mulai mengumpat-umpat dosen-dosen dan para ulama di negeri dia belajar ketika itu. Bahkan umpatan itu semakin kasar dan sengit, karena sudah mengarah kepada ejekan. Sebagai pelajar yang diajari etika, apalagi nyantri tahunan, telinga sang sahabat memerah.

     Ketika si Kurdistan disentil sedikit, “Lho, bukannya mereka itu gurumu, mereka menanggung biaya hidup kita?” Jawabnya, “Sori, saya hanya menghormati ilmu”. Ujaran si Kurdistan ini mengingatkan saya pada banyak hal, politik misalnya, yang membalikkan kawan menjadi lawan, guru menjadi musuh, dan sebaliknya. Atau logika berpikir sempit bahwa ilmu berdiri sendiri, bisa didapat tanpa perlu belajar kepada ahlinya, cukup dipelajari sendiri lalu disimpulkan sendiri tanpa bekal dasar. Benarkah orang bisa mendapatkan ilmu tanpa berguru kepada ahlinya? Atau dalam konteks umum, bisakah berilmu tanpa berguru? Jawabnya, mungkin bisa, mungkin tidak.

    Sebelum menuju cerita, ada sebuah pertanyaan: Bayangkan di depan Anda tersedia semua bahan dan alat untuk membuat opor, bisakah Anda – siapa saja – membuat opor yang ‘jadi’ (bahkan enak)? Silakan jawab.

   Sekarang mari melompat ke sebuah kisah. Dahulu, betapa Francis Bacon (w.1626) sangat keras menghantam para ilmuwan pendahulunya. Sebagai salah satu tokoh filsafat Positivisme, Bacon paling lantang menyuarakan ajakan agar segera meninggalkan bangunan ilmu yang telah dibangun oleh para pendahulu; para tokoh agama, kitab suci dan metodologi gagasan Aristoteles. Dia mengkritik habis-habisan mantiq Aristoteles dan menyatakan bahwa metode itu mandul, tidak produktif. Disaat yang sama ia berpandangan bahwa ilmu pengetahuan yang riil ada di dalam alam semesta ini, bukan kitab suci, bukan pula mantiq Aristoteles. Alam inilah sumber ilmu pengetahuan yang sebenarnya.

   Bacon pun menawarkan metode induksi; penetilian terhadap setiap satuan objek/kasus untuk diambil hukum dan teorinya. Sebab induksi lah satu-satunya metode untuk memahami bagaimana sebenarnya alam semesta ini dan apa saja yang bisa dimanfaatkan darinya. Dalam metode ini, Bacon melarang hipotesa (pendapat sementara/asumsi), atau – dengan bahasa lebih mudah – mengharuskan logika peneliti dalam keadaan netral, bebas dari teori dan rasionalitas apapun, apalagi hipotesa. Tujuannya agar hasil penelitian benar-benar ilmiah, tanpa terpengaruh logika atau keyakinan si peneliti. Metode ini, saking tenarnya ketika itu, hingga berpengaruh kepada para ilmuwan besar di sana, salah satunya Issac Newton (1727). Sampai-sampai J.S. Mill (w.1873) menganut induksi ini dengan serius sehingga menjadikannya sebagai aliran Induktivisme.

   Tapi, benarkah ilmu pengetahuan bisa didapatkan dari objek secara langsung? Dengan kata lain, benarkah seseorang bisa mendapatkan ilmu pengetahuan hanya dengan membaca, meneliti dan mengamati objek, dengan logika netral, tanpa bekal metodologi apapun walau hanya hipotesa? Sampai-sampai Newton pernah berujar “Aku tidak melakukan hipotesa apapun” ?

   Kenyataannya, para ilmuwan yang menggali pengetahuan alam dengan induksi ala Bacon dan Mill ini meyakini bahwa rotasi/pergerakan alam semesta berdasarkan hukum sebab akibat. Bahwa A terjadi karena B, atau karena keberadaan B maka A pun terjadi, misalnya. Saat itu hukum sebab akibat menjadi teori umum dan hipotesa dasar dalam penelitian, sehingga seorang peneliti yang sedang meneliti sebuah objek sebenarnya dia sedang mencari hubungan sebab akibat dalam objek tersebut. Dan ketika hubungan itu ditemukan walaupun dengan 4 atau 5 kali penelitian saja, kesimpulannya sudah dianggap sebagai teori ilmiah. Seperti Bacon sendiri pernah suatu kali menimbun ayam masak didalam sebuah gunung es, beberapa malam kemudian, ia ambil kembali ayam itu dan menjumpainya masih utuh, lalu ia berujar: “eksperimenku berhasil”, dan menyimpulkan bahwa dingin berpengaruh terhadap keawetan daging. Meski kenyataannya benar, tapi bukankah eksperimen itu baru sekali ia lakukan? Dan ia langsung berkesimpulan adanya sebab akibat? Layakkah teori yang ditemukan dengan sedikit penelitian dan eksperimen disebut sebagai teori ilmiah?

   Ini artinya, sebenarnya induksi ala Bacon mengandung asas yang kontradiktif. Bagaimanapun seorang peneliti tidak bisa netral, tanpa dasar logika, sejak awal mula penelitian hingga akhir. Seorang peneliti harus punya bekal teori, metodologi atau setidaknya hipotesa, sebagaimana Bacon sendiri dan para ilmuwan lainnya yang ketika itu ternyata sudah meyakini sejak awal bahwa pergerakan alam berdasarkan hukum sebab akibat.

  Bahkan ketika ditelusuri lebih jauh, apakah benar hukum sebab akibat ini yang terjadi pada fenomena alam, padahal penelitian terhadap alam saat itu masih sedikit? Dari mana kesimpulan hukum sebab akibat ini ditemukan? Ternyata jawabannya adalah dari kebiasaan, bahwa manusia sudah terbiasa menyimpulkan adanya sebab akibat ketika mengalami peristiwa sehari-hari, yang itu artinya kebiasaan merupakan fenomena psikologis, bukan fenomea logis (ilmiah). Jadi ilmu pengetahuan yang digali dengan induksi ala Bacon itu berdasarkan pada ketidakilimiahan? Begitu kira-kira kesimpulan kritik David Hume kepada Bacon (1776).

   Kenyataan lain, para ilmuwan di Eropa – termasuk Bacon sendiri – mempelajari teori-teori para pendahulu. Bahkan Ayah Bacon, Nicholas Bacon, dan kakeknya, Roger Bacon, adalah ilmuwan terkenal yang terpengaruh metodologi induksi. Sebab Roger Bacon sendiri pernah berguru kepada Roberts Grost (1250), salah satu ilmuwan Universitas Oxford, yang terpengaruh oleh metodologi empiris Ibn Al Haitsam dalam karyanya Al Manadhir. Bahkan sebelum itu, selain Ibn Al Haitsam, para ilmuwan seperti Jabir Ibn Hayyan atau Arcimedes telah menggunakan metode yang dilantangkan Bacon di Eropa. Artinya, Francis Bacon sendiri tidak mungkin sampai kepada teori induksinya tanpa mempelajari teori dan metolodologi sebelumnya. Begitu juga tidak mungkin C. Darwin (1882) menemukan teori evolusi jika dulu ia tidak mempelajari teori-teori pendahulu, khususnya Charles Lyell, T.R. Malthus atau Lamarck. Anda pun tidak akan mungkin paham fisika kalau Anda tidak memiliki bekal ilmu fisika, bukan?

  Lalu apa masalahnya? Itu tadi, bahwa induksi ala Bacon melarang seorang peneliti menggunakan logika dasar (mantiq), teori atau keyakinan apapun yang dianut si peneliti baik sejak awal maupun hingga akhir. Jadi bukan induksinya yang bermasalah.

  Sebab itu, Albert Einstein (1955) menegaskan bahwa realitas empirik (alam/nature) itu sendiri tidak akan berguna bagi seorang peneliti selama si peneliti tidak menggunakan sebuah metodologi untuk penelitiannya. Artinya, justru – menurut Einstein – ilmu dihasilkan dari penelitian dan eksperimen yang berdasar pada sebuah metodologi. Sedangkan metodologi itu sendiri berasal dari akal, tepatnya, dari kecerdasan seorang ilmuwan, sehingga tidak setiap orang mampu membuat metodologi ilmiah. Sementara secerdas apapun seorang ilmuwan, ia pasti menguasai ilmu-ilmu para pendahulunya.

Ilmu agama dan ulama

  Jauh-jauh hari sebelum Einstein dan para ilmuwan semasanya mencapai kesimpulan itu, Kanjeng Rasul SAW. sudah mengingatkan:
إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء
Artinya: “Allah tidak mencabut ilmu dengan cara mengangkatnya dari para hamba, akan tetapi Dia mengangkat ilmu dengan mematikan para ulama…” (HR. Al Bukhari dari Amr ibn Al Ash)
Ini artinya, selain Rasul mengajarkan bahwa ilmu terdapat pada para ulama, juga secara tersirat mengajarkan bahwa mempelajari ilmu tanpa menggunakan metodologi apalagi tanpa di-guru-kan, tidak akan sampai kepada pemahaman yang benar (layak). Dengan kata lain, mungkin saja seseorang memahami ilmu apapun (termasuk ilmu agama) tanpa berguru, tanpa metodologi, tapi dengan pemahaman yang – sangat mungkin sekali – keliru. Dan kalau ilmu itu adalah ilmu agama, tidak sejalan dengan prinsip ajaran agama yang dimaksudkan oleh Kanjeng Rasul, Sang Utusan. Lalu apa prinsip ajaran yang dimaksudkan beliau itu? Ujaran Ibnu Sirin tentang periwayatan hadis juga layak untuk dipahami dalam kontek ini, bunyinya: “Ilmu ini adalah agama, maka perhatikan dari siapa kalian mempelajari agama kalian.”


   Kembali lagi kepada opor, ilmu ibarat opor. Anda tidak akan mendapat pemahaman yang benar dari sebuah ilmu kalau tidak paham teori dan metodologinya, sebagaimana Anda tidak akan bisa membuat opor – meski dengan bahan lengkap itu – tanpa menggunakan resep opor. Ilmu agama pun demikian, tidak mungkin dapat dicapai pemahaman yang benar darinya kalau tidak menggunakan metodologinya. Dari mana metodologi itu didapat? Dari berguru. (Irham Sofwan Lc.)
Previous
Next Post »