Sebenarnya
menarik kalau isu dan fenomena jihad dalam sejarah Islam dikaji secara historis
dan tematik. Tapi jelas memerlukan tenaga dan komitmen yang besar. Di satu sisi
jihad menjadi salah satu pilar ajaran pokok dalam Islam, dibicarakan dalam
Al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW, dan selalu menjadi tema wajib dalam kitab-kitab
turats induk. Bahkan - kalau melihat masa sekarang – relevansi pembahasan jihad
menjadi selalu harus dan wajib.
Hal itu
karena, disisi lain, tema jihad akhir-akhir ini sedang menjadi topik
kontroversial, yang maknanya sedang ditarik atau dialihkan dari usaha keras
membela agama menjadi usaha keras bersifat militan dalam membela ideologi
kelompok atau kepentingan politik. Lalu esensi jihad pun bisa segera bergeser
dari lingkupnya yang luas yakni mencurahkan tenaga dan kemampuan dalam berjuang
di jalan Allah, menuju lingkup yang sempit yakni hanya sebatas konteks perang
fisik dan semacam kegiatan eksekusi.
Tidak
ada orang yang menyimpulkan demikian, mungkin. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa
istilah jihad bertebaran hampir di setiap media berlabel Islam yang – sayangnya
– dikesankan positif bagi setiap bentuk perang fisik di negara-negara mayoritas
muslim di Timur Tengah saat ini. Bagaimana bisa perang fisik dijalankan untuk
membela Islam di negara mayoritas muslim? Dan bagaimana bisa perang di Irak,
Syria, Libya atau Yaman disebut jihad, sama seperti perang melawan Israel?
Terlepas
dari apa situasi dan kondisi yang paling tepat yang melatarbelakangi fenomena
itu, setidaknya ada empat faktor mengapa istilah jihad disalahpahami demikian.
Pertama,
keliru secara mendasar dalam memahami teks-teks (nushush) khusus yang
membicarakan jihad. Misalnya teks-teks itu dipahami secara dhahir saja,
tanpa memperhatikan ulasan sejarah dan maksud-maksud khususnya. Disaat yang
sama, teks-teks tersebut diamalkan tanpa berdasarkan fiqh-nya, yang
statusnya sebagai metodologi sistematik telah dibangun berabad-abad lamanya
oleh para ulama Islam. Arah dan tujuan-tujuan objektif yang dimaksudkan dalam
dalil-dalil jihad pun menjadi kabur, dan salah sasaran.
Akibatnya,
teks-teks jihad menjadi tidak menjadi dasar ajaran perjuangan yang semestinya,
melenceng dari yang seharusnya, untuk kemudian menggoda perhatian sebagian kaum
muda di berbagai belahan dunia.
Kedua,
keliru memahami esensi jihad itu sendiri. Tidak bisa disangkal, bahwa rata-rata
seruan jihad yang akhir-akhir ini sering terdengar atau terbaca, identik dengan
perang fisik dan gencatan senjata (qital). Dengan status jihad sebagai
salah satu keharusan dalam agama, jadilah peperangan, menumpahkan darah dan
melukai badan dipahami sebagai kewajiban, ditambah dengan kekeliruan fatal
tentang siapa yang berhak diperangi.
Maulana
Abul Kalam Azad, alim keturunan Pakistan, menyebut setidaknya kekeliruan inilah
yang sering terjadi dalam memahami esensi jihad. Padahal, cakupan jihad sebagai
kegiatan perjuangan agama sangat lah luas, tidak hanya untuk konteks qital.
“Kalau
memang benar jihad terbatas dan terikat pada kontek qital saja, maka jihad pada
kontek amalan hati dan lisan, padahal Al-Qur’an dan Sunnah banyak membahasnya,
menjadi tidak sah”, katanya. Lebih jauh ia mengutip perkataan Ibnu Taimiyyah
bahwa perintah jihad ada yang ditujukan pada pekerjaan hati seperti bertekad
melakukan jihad, adakalanya pada pekerjaan lisan seperti untuk dakwah,
berargumen, beraspirasi dan manajemen masyarakat, dan adakalanya pada tubuh
seperti perang.
Meskipun
qital sendiri menjadi salah satu model jihad, tetap saja tidak ada
satupun ayat yang mengandung maksud bahwa qital dalam Islam adalah cara
untuk mengislamkan. Karena qital dalam kontek jihad bukan lah untuk
menyerang, melainkan untuk bertahan, menolak serangan fisik yang membahayakan
situasi damai, sehingga qital tidak boleh dijalankan kecuali dalam
situasi diserang dengan gencatan senjata.
Ketiga,
keliru dalam memahami ukhuwwah islamiyyah. Sayangnya, perseteruan
politis di masa Shahabat dahulu itu bagi umat Islam bukan menjadi tolak ukur
untuk membangun parsatuan di masa depan, juga belajar menginsyafi sejarah
kelam, namun justru untuk semakin mempertajam perseteruan musalsal
tersebut. Memang perseteruan karena motif perbedaan dan kekuasaan sudah menjadi
takdir Allah yang tak terhindarkan di masa lalu, namun mestinya umat Islam hari
ini tidak malah tenggelam kembali kedalamnya.
Apapun
definisi ukhuwwah islamiyyah yang diajukan, yang penting batas utamanya
adalah tidak sampai berkonsekuensi kepada sikap saling memusuhi antar sekte dan
madzhab. Artinya, definisi ukhuwwah islamiyyah yang mengakibatkan
eksklusifitas kelompok dan semakin tajamnya fanatisme sektarian, maka defenisi
itu keliru. Sebab bukan definisi atau dasar dan dalil definisinya yang penting,
melainkan tujuannya. Sehingga ukhuwwah islamiyyah harus didefinisikan
dan dikukuhkan untuk tujuan terciptanya ukhuwwah islamiyyah itu sendiri,
bukan yang lain.
Bagi
penulis, mengamini sebagian ulama, ukhuwwah wathaniyyah adalah bentuk
nyata untuk menciptakan ukhuwwah islamiyyah, oleh karenanya harus
didahulukan. Mengapa? Sebab konflik dan perang internal sebuah negara atau
bangsa telah menjadi langkah awal hancurnya persatuan umat Islam. Konflik di
Timur Tengah adalah contoh nyata yang tidak bisa dibantah. Selagi masih ada
kesempatan, maka, mari kita menjadi agen ukhuwwah wathaniyyah di mana
pun, khususnya di tanah air kita, dengan mengkaunter segala bentuk potensi
konflik sekte, madzhab, politik dan ras.
Jihad
dan Politik Aktual
Keempat,
kurang memahami politik aktual, baik ditingkat regional maupun global.
Seringkali isu sektarian dijadikan bahan untuk menghancurkan persatuan umat,
padahal dibalik itu ada kekuatan politik yang berkepentingan. Lalu kita semakin
lupa dengan siapa seharusnya kita berurusan.
Rasanya,
tidak ingin berpanjang ria. Tapi menarik menyimak analisa Fahmi Huwaidi dalam
tulisannya bertajuk Al Mashirul Arabiy fi Muftaraqit Thuruq (Shorouknews
22/6/15). Mantan pemred harian Al-Ahram itu seolah menerawang masa depan dunia
Arab ke depan dengan tolak ukur pemanasan politik dunia Islam pasca Arab Spring
beberapa tahun lalu. Membaca artikel tersebut, sangat terasa betapa dunia Arab
sedang dialihkan visi politiknya oleh kekuatan-kekuatan global yang berkuasa di
seluruh dunia, khususnya dunia Islam.
Yang
mengesankan adalah dua (dari empat) bahan analisa yang diajukan oleh Fahmi,
yang menguatkan pandangan kita bahwa akhir-akhir ini memang Arab dan umat Islam
sedang diarahkan kepada kekacauan (chaos) internal dan dijauhkan dari
konflik sebenarnya; Israel-Palestina.
Fakta
pertama, Israel dimungkinkan akan semakin mesra dengan dunia Arab sebagai ganti
dari semakin menjauhinya Eropa dari Israel dalam hubungan akademik dan ekonomi.
Sebuah organisasi Israel melansir hasil polling terhadap rakyat Saudi yang
menyatakan 53% menganggap Iran adalah musuh, 22% menganggap Da’isy sebagai musuh,
dan hanya 18% yang masih menganggap Israel seabagi musuh. Terlepas dari sejauh
mana proses polling tersebut, dan sejak kapan dimulai, namun tetap hal itu
perlu menjadi perhatian.
Fakta
kedua, setelah merenungi komentar-komentar para pengamat tersohor Saudi saat
mereka menilai sikap Iran, Fahmi menyimpulkan tidak ada satupun komentar yang
masih menganggap Israel sebagai musuh utama, tidak juga sebagai satu-satunya
musuh. Komentar-komentar mereka ini sangat riskan, tidak hanya akan memalingkan
dunia Arab dari pendudukan Israel terhadap Palestina yang akan terus berjalan,
tapi lebih dari itu, bahkan akan bisa menguatkan posisi tema Sunni versus Syiah
sebagai spirit konflik internal dunia Islam di masa mendatang. Akibat terakhir
inilah yang paling berbahaya.
Saat
ini, konflik Sunni Syiah masih berlangsung, mau sampai kapan? Jawabannya adalah
sampai kekuatan-kekuatan politik global berhenti saling menjatuhkan. Semenjak
Irak hancur, konflik sekte di Timur Tengah hanya sebagai wajah atau latar dari
konflik sebenarnya; yaitu perang negara-negara adidaya dan sekutunya. Jika
perebutan pengaruh mereka di Timur Tengah beberapa tahun terakhir ini saja
telah mengorbankan kedamian umat Islam di lima negara, lalu bagaimana akibatnya
kalau terus berlanjut? Bagaimana kalau di kemudian hari perebutan itu mereka
pindahkan ke kawasan Asia Pasifik?
Ya, itu
adalah kawasan Asia Tengara dan sekitarnya. Founding father kita Ir. Soekarno
dan Dr. Sam Ratulangie telah jauh-jauh hari memprediksikan, suatu saat
perebutan kekuasaan negara-negara adidaya itu akan berpindah ke kawasan kita.
Entah kapan tepatnya, namun tanda-tandanya barangkali sudah sangat terasa.
Kembali
kepada persoalan, dua bahan analisa Fahmi itu sebenarnya adalah contoh gambaran
bagaimana permainan politik berperan besar dalam konflik sekte dan agama di era
sekarang. Alih-alih seseorang semangat berteriak jihad, justru ia sedang
mengajak untuk melukai saudara seiman. Dikira sedang susah payah meraih sorga,
malah kedaulatan dan kedamaian tanah airnya dikacaukan. Jihad pun menjadi
bumerang bagi diri sendiri, disebabkan tertipu oleh proyek politik segelintir
kekuatan.
Maka
baiknya memahami konflik sekte dan agama diimbangi dengan pemahaman isu politik
global, bukan sekedar politik lokal. Sementara isu politik global, menurut
penulis, hampir tidak lepas dari kontek pertarungan kekuatan kapitalisme
global, sebab semua itu saling terkait dan terjalin. Wallahu a’lam.
Referensi:
-
Al-Jihad Difa’an ‘Anil
Islam, Maulana Abul Kalam Azad, Al-Azhar Magazine (Sya’ban 1434 H.)
-
Al-Qur’an wal Qital, Mahmoud
Syaltut, Al-Azhar Magazine (Rajab, 1435 H.)
-
Al-Mashirul Arabiy fi
Muftaraqit Thuruq:
(http://www.shorouknews.com/columns/view.aspx?cdate=22062015&id=55f014a4-593b-4aef-a460-6e4ea36200f3)
-
Takdir
Geopolitik Indonesia di Tengah Pertarungan Global AS-Cina di Asia Pasifik:
(http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=17750&type=4#.VZDmSEaZHIU)
-
Connie
Rahakundini Bakrie: 8 Tahun ke Depan “Perang” Perebutan Sumber Daya Alam di
Kawasan Asia Pasifik:
(http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=17783&type=13#.VZDlV0aZHIU)
Oleh:
Irham Shofwan
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon