Mungkinkah ilmu didapat tanpa guru (ilmuwan)? Dengan kata lain, apakah
tanpa berguru seseorang bisa mencapai pemahaman ilmu yang benar? Mungkin saja
bisa, mungkin juga tidak. Suatu kali seorang sahabat ngobrol dengan
tetangganya, orang Kurdistan. Saat si sahabat menjelang masuk kamar, kata-kata
yang terlontar dari si Kurdistan mulai kurang enak terdengar. Ia mulai
mengumpat-umpat dosen-dosen dan para ulama di negeri dia belajar ketika itu.
Bahkan umpatan itu semakin kasar dan sengit, karena sudah mengarah kepada
ejekan. Sebagai pelajar yang diajari etika, apalagi nyantri tahunan, telinga
sang sahabat memerah.
Ketika si Kurdistan disentil sedikit, “Lho, bukannya mereka itu gurumu,
mereka menanggung biaya hidup kita?” Jawabnya, “Sori, saya hanya menghormati
ilmu”. Ujaran si Kurdistan ini mengingatkan saya pada banyak hal, politik
misalnya, yang membalikkan kawan menjadi lawan, guru menjadi musuh, dan
sebaliknya. Atau logika berpikir sempit bahwa ilmu berdiri sendiri, bisa
didapat tanpa perlu belajar kepada ahlinya, cukup dipelajari sendiri lalu
disimpulkan sendiri tanpa bekal dasar. Benarkah orang bisa mendapatkan ilmu
tanpa berguru kepada ahlinya? Atau dalam konteks umum, bisakah berilmu tanpa
berguru? Jawabnya, mungkin bisa, mungkin tidak.
Sebelum menuju cerita, ada sebuah pertanyaan: Bayangkan di depan Anda
tersedia semua bahan dan alat untuk membuat opor, bisakah Anda – siapa saja –
membuat opor yang ‘jadi’ (bahkan enak)? Silakan jawab.
Sekarang mari melompat ke sebuah kisah. Dahulu, betapa Francis Bacon
(w.1626) sangat keras menghantam para ilmuwan pendahulunya. Sebagai salah satu
tokoh filsafat Positivisme, Bacon paling lantang menyuarakan ajakan agar segera
meninggalkan bangunan ilmu yang telah dibangun oleh para pendahulu; para tokoh agama,
kitab suci dan metodologi gagasan Aristoteles. Dia mengkritik habis-habisan mantiq
Aristoteles dan menyatakan bahwa metode itu mandul, tidak produktif. Disaat
yang sama ia berpandangan bahwa ilmu pengetahuan yang riil ada di dalam alam
semesta ini, bukan kitab suci, bukan pula mantiq Aristoteles. Alam
inilah sumber ilmu pengetahuan yang sebenarnya.
Bacon pun menawarkan metode induksi; penetilian terhadap setiap satuan
objek/kasus untuk diambil hukum dan teorinya. Sebab induksi lah satu-satunya
metode untuk memahami bagaimana sebenarnya alam semesta ini dan apa saja yang
bisa dimanfaatkan darinya. Dalam metode ini, Bacon melarang hipotesa (pendapat
sementara/asumsi), atau – dengan bahasa lebih mudah – mengharuskan logika
peneliti dalam keadaan netral, bebas dari teori dan rasionalitas apapun,
apalagi hipotesa. Tujuannya agar hasil penelitian benar-benar ilmiah, tanpa
terpengaruh logika atau keyakinan si peneliti. Metode ini, saking tenarnya
ketika itu, hingga berpengaruh kepada para ilmuwan besar di sana, salah satunya
Issac Newton (1727). Sampai-sampai J.S. Mill (w.1873) menganut induksi ini
dengan serius sehingga menjadikannya sebagai aliran Induktivisme.
Tapi, benarkah ilmu pengetahuan bisa didapatkan dari objek secara langsung?
Dengan kata lain, benarkah seseorang bisa mendapatkan ilmu pengetahuan hanya
dengan membaca, meneliti dan mengamati objek, dengan logika netral, tanpa bekal
metodologi apapun walau hanya hipotesa? Sampai-sampai Newton pernah berujar “Aku
tidak melakukan hipotesa apapun” ?
Kenyataannya, para ilmuwan yang menggali pengetahuan alam dengan induksi
ala Bacon dan Mill ini meyakini bahwa rotasi/pergerakan alam semesta
berdasarkan hukum sebab akibat. Bahwa A terjadi karena B, atau karena
keberadaan B maka A pun terjadi, misalnya. Saat itu hukum sebab akibat menjadi
teori umum dan hipotesa dasar dalam penelitian, sehingga seorang peneliti yang
sedang meneliti sebuah objek sebenarnya dia sedang mencari hubungan sebab
akibat dalam objek tersebut. Dan ketika hubungan itu ditemukan walaupun dengan
4 atau 5 kali penelitian saja, kesimpulannya sudah dianggap sebagai teori
ilmiah. Seperti Bacon sendiri pernah suatu kali menimbun ayam masak didalam
sebuah gunung es, beberapa malam kemudian, ia ambil kembali ayam itu dan
menjumpainya masih utuh, lalu ia berujar: “eksperimenku berhasil”, dan
menyimpulkan bahwa dingin berpengaruh terhadap keawetan daging. Meski
kenyataannya benar, tapi bukankah eksperimen itu baru sekali ia lakukan? Dan ia
langsung berkesimpulan adanya sebab akibat? Layakkah teori yang ditemukan
dengan sedikit penelitian dan eksperimen disebut sebagai teori ilmiah?
Ini artinya, sebenarnya induksi ala Bacon mengandung asas yang
kontradiktif. Bagaimanapun seorang peneliti tidak bisa netral, tanpa dasar
logika, sejak awal mula penelitian hingga akhir. Seorang peneliti harus punya
bekal teori, metodologi atau setidaknya hipotesa, sebagaimana Bacon sendiri dan
para ilmuwan lainnya yang ketika itu ternyata sudah meyakini sejak awal bahwa
pergerakan alam berdasarkan hukum sebab akibat.
Bahkan ketika ditelusuri lebih jauh, apakah benar hukum sebab akibat ini
yang terjadi pada fenomena alam, padahal penelitian terhadap alam saat itu
masih sedikit? Dari mana kesimpulan hukum sebab akibat ini ditemukan? Ternyata
jawabannya adalah dari kebiasaan, bahwa manusia sudah terbiasa menyimpulkan
adanya sebab akibat ketika mengalami peristiwa sehari-hari, yang itu artinya
kebiasaan merupakan fenomena psikologis, bukan fenomea logis (ilmiah). Jadi
ilmu pengetahuan yang digali dengan induksi ala Bacon itu berdasarkan pada
ketidakilimiahan? Begitu kira-kira kesimpulan kritik David Hume kepada Bacon
(1776).
Kenyataan lain, para ilmuwan di Eropa – termasuk Bacon sendiri –
mempelajari teori-teori para pendahulu. Bahkan Ayah Bacon, Nicholas Bacon, dan
kakeknya, Roger Bacon, adalah ilmuwan terkenal yang terpengaruh metodologi
induksi. Sebab Roger Bacon sendiri pernah berguru kepada Roberts Grost (1250),
salah satu ilmuwan Universitas Oxford, yang terpengaruh oleh metodologi empiris
Ibn Al Haitsam dalam karyanya Al Manadhir. Bahkan sebelum itu, selain
Ibn Al Haitsam, para ilmuwan seperti Jabir Ibn Hayyan atau Arcimedes telah
menggunakan metode yang dilantangkan Bacon di Eropa. Artinya, Francis Bacon
sendiri tidak mungkin sampai kepada teori induksinya tanpa mempelajari teori
dan metolodologi sebelumnya. Begitu juga tidak mungkin C. Darwin (1882)
menemukan teori evolusi jika dulu ia tidak mempelajari teori-teori pendahulu,
khususnya Charles Lyell, T.R. Malthus atau Lamarck. Anda pun tidak akan mungkin
paham fisika kalau Anda tidak memiliki bekal ilmu fisika, bukan?
Lalu apa masalahnya? Itu tadi, bahwa induksi ala Bacon melarang seorang
peneliti menggunakan logika dasar (mantiq), teori atau keyakinan apapun
yang dianut si peneliti baik sejak awal maupun hingga akhir. Jadi bukan
induksinya yang bermasalah.
Sebab itu, Albert Einstein (1955) menegaskan bahwa realitas empirik
(alam/nature) itu sendiri tidak akan berguna bagi seorang peneliti selama si
peneliti tidak menggunakan sebuah metodologi untuk penelitiannya. Artinya,
justru – menurut Einstein – ilmu dihasilkan dari penelitian dan eksperimen yang
berdasar pada sebuah metodologi. Sedangkan metodologi itu sendiri berasal dari
akal, tepatnya, dari kecerdasan seorang ilmuwan, sehingga tidak setiap orang
mampu membuat metodologi ilmiah. Sementara secerdas apapun seorang ilmuwan, ia
pasti menguasai ilmu-ilmu para pendahulunya.
Ilmu agama dan ulama
Jauh-jauh hari sebelum Einstein dan para ilmuwan semasanya mencapai
kesimpulan itu, Kanjeng Rasul SAW. sudah mengingatkan:
إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض
العلم بقبض العلماء
Artinya: “Allah tidak mencabut ilmu dengan cara mengangkatnya dari para
hamba, akan tetapi Dia mengangkat ilmu dengan mematikan para ulama…” (HR.
Al Bukhari dari Amr ibn Al Ash)
Ini artinya, selain Rasul mengajarkan bahwa ilmu terdapat pada para ulama,
juga secara tersirat mengajarkan bahwa mempelajari ilmu tanpa menggunakan
metodologi apalagi tanpa di-guru-kan, tidak akan sampai kepada pemahaman yang
benar (layak). Dengan kata lain, mungkin saja seseorang memahami ilmu apapun
(termasuk ilmu agama) tanpa berguru, tanpa metodologi, tapi dengan pemahaman
yang – sangat mungkin sekali – keliru. Dan kalau ilmu itu adalah ilmu agama,
tidak sejalan dengan prinsip ajaran agama yang dimaksudkan oleh Kanjeng Rasul,
Sang Utusan. Lalu apa prinsip ajaran yang dimaksudkan beliau itu? Ujaran Ibnu
Sirin tentang periwayatan hadis juga layak untuk dipahami dalam kontek ini,
bunyinya: “Ilmu ini adalah agama, maka perhatikan dari siapa kalian
mempelajari agama kalian.”
Kembali lagi kepada opor, ilmu ibarat opor. Anda tidak akan mendapat
pemahaman yang benar dari sebuah ilmu kalau tidak paham teori dan
metodologinya, sebagaimana Anda tidak akan bisa membuat opor – meski dengan
bahan lengkap itu – tanpa menggunakan resep opor. Ilmu agama pun demikian,
tidak mungkin dapat dicapai pemahaman yang benar darinya kalau tidak
menggunakan metodologinya. Dari mana metodologi itu didapat? Dari berguru. (Irham Sofwan Lc.)
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon